33

48.7K 2.1K 92
                                    

Dina POV

Beberapa hari meninggalkan rumah untuk berlibur, aku benar-benar rindu rumah yang saat ini ku tempati. Rumah besar bercat putih yang dibangun Fere hanya untuk mengenang mendiang ibunya.

Dengan masih menggunakan bathrobe, aku keluar dari kamar dan menatap kardus besar yang belum dibongkar. Hari ini paket dari Thailand baru sampai dan sebagian besar adalah buah tangan untuk orang yang tinggal di rumah Ibu, meskipun aku tidak melupakan beberapa hadiah untuk pekerja yang tinggal di sini.

Aku mengambil cutter dan mulai membongkarnya, mengeluarkan isinya dan duduk bersimpuh di atas karpet tebal sambil memisahkan barang yang masih terbungkus plastik. Setelah dipisah aku memberinya label supaya tidak tertukar. Saking asiknya, sampai-sampai aku tidak menyadari Fere datang dan duduk di belakangku, ia memelukku dan menciumi leherku, kebiasaan baru Fere yang selalu membaut bulu di sekitar tengkukku meremang.

"Jarang-jarang aku menghirup harum sabun yang keluar dari tubuhmu." Fere menciumnya sekali lagi dan meninggalkan dagunya dipundakku.

Aku yang tidak tahan geli menggeliat dan berusaha menjauhkan kepala Fere, "makanya beli sabun yang mahal dan tahan baunya supaya aku tidak harus terus-terusan mandi."

"Kamu tuh ya..." Tanpa berniat untuk beranjak, Fere malah semakin membebankan kepalanya di pundakku. "Siapa yang akan mengantar ini semua?"

"Bagaimana kalau kita." Akan sangat menyenangkan seandainya aku dan Fere bisa berkunjung ke rumah Ibu dengan membawa buah tangan dalam jumlah besar.

"Maafkan aku, minggu ini jadwalku sangat padat," dan Fere sangat menyesal.

"Tidak usah dipikirkan. Aku bisa menyuruh Ares datang kemari untuk mengambil ini semua."

"Aku minta maaf sayang." Fere menarik napas berat, ia kemudian mengetat pelukkannya dan mencium pipiku.

"Hai, tidak perlu menyesal seperti itu. Kita bisa mengunjungi ibu di lain waktu."

"Baiklah, aku janji. Jika ada waktu luang kita pergi kesana sama-sama."

"Aku pegang janjimu,"

"Ok, sudah terlalu siang sebaiknya aku berangkat sekarang." Dengan enggan Fere melepaskan pelukkannya dan menatapku sebentar lalu mencium bibirku dengan sopan.

"Baiklah hati-hati di jalan." Kubalas kecupan Fere meski tidak terbiasa, tapi aku harus membiasakan diri.

"Aku berangkat," Tapi Fere tidak beranjak pergi.

"Ya, sudah tunggu apa lagi?" Ku tatap Fere heran, dia sebenarnya ingin pergi atau tidak.

"Demi Tuhan Dina! Seandainya pekerjaan tidak menungguku akan kuseret kau untuk masuk kamar." Dan Fere kembali mencium bibirku, kali ini lebih lama dan dalam.

***

Ku lambaikan tangan ketika mobil Fere meninggalkan halaman rumah kami. Butuh waktu beberapa menit untuk membujuk Fere supaya tidak meninggalkan rapatnya pagi ini.

Entahlah, akhir-akhir ini Fere begitu aneh terlebih lagi setelah kita berdua berbicara panjang lebar tentang surat kontrak yang telah di sepakati. Aku dan Fere setuju untuk menjalani hidup sesuai dengan isi kontrak. Kita berdua sepakat untuk hidup bersama selama sembilan bulan kedepan dan seandainya kita merasa tidak cocok satu sama lain, salah satu dari kita boleh mengajukan gugatan cerai.

Sejujurnya, semakin hari aku semakin menikmati peranku sebagai istri karena tidak ada yang tidak bisa aku lakukan di rumah ini. Setiap pagi aku berkewajiban menyiapkan keperluan Fere, setiap pagi pula aku diharuskan membuat sarapan pagi untuknya. Siang aku bisa melakukan apapun yang aku suka tanpa ada protes dari siapapun dan sorenya aku akan sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuknya. Sebuah kehidupan yang sempurna menurutku. Ini memang impianku, menjadi Ibu Rumah Tangga seutuhnya.

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang