Lima Belas

10.5K 735 3
                                    

Kurasa lagi-lagi aku tidur seperti orang mati. Aku tidak tahu sekarang pukul berapa. Aku terlalu malas menengok jam. Tidak ada jendela di kamarku. Steven berdiri di ujung ruangan. Dia terlihat berantakan. Dia terkesiap saat berbalik dan melihatku membuka mata.

Wajahnya penuh kekhawatiran, tapi dia berusaha menyunggingkan senyum untukku. Aku bersumpah aku sedang berusaha tersenyum. Betapa pun aku tidak tahu apakah terbentuk di bibirku atau tidak.

Steven mendekat tapi aku menegang. "Kau ingin cokelat hangat?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk kecil. Rasanya benar-benar tersiksa saat melakukan itu. Aku bertanya-tanya jika leherku patah. Steven tersenyum padaku sebelum meninggalkan kamar.

Evan muncul tiba-tiba dan membeku ujung ruangan. Dia bahkan terlihat lebih berantakan—tetap saja dia masih tampan. Aku menegang saat melihatnya. Kutarik selimutku ke atas. "Rosaline, Sayang, aku merindukanmu," gumamnya getir. Itu menyayatku. Dia terlihat sangat sedih melihatku.

Steven muncul dan membawakan segelas cokelat untukku. Meletakkannya di meja di samping ranjang. "Kau ingin aku di sini?" tanya Steven padaku. Aku mengangguk. Mata Evan melebar melihatku. "Evan ingin di sini," jelas Steven lembut. Aku menggeleng kecil. Wajah Evan mengeras. Astaga, dia marah. "Kau lihat itu, Wright. Keluarlah. Aku akan memanggilmu nanti."

Tangan Evan mengepal. Rahangnya menegang. Meninju dinding. Kemudian keluar sambil menutup pintu dengan keras. Aku sedikit berjengit karena itu.

"Sialan," gumam Steven menanggapi Evan. Lalu dia beralih padaku. "Kau ingin aku membantumu duduk dan minum?"

Aku mengangguk. Dia tersenyum lebih cerah. Dia membantuku duduk, dengan hati-hati menyentuhku. Astaga, untuk duduk saja rasanya sakit. Steven mengambil cokelat dan memberikannya padaku. Kuhirup aroma cokelat, bersyukur hidungku masih bisa menghirup sesuatu. Kali ini sesuatu yang menenangkan. Cokelat. Aku sangat menyukainya. Aku meminumnya, rasa manis diujung lidah, mulai terasa pahit di pangkal lidah, kehangatan membalut tenggorokanku. Begitu menenangkan.

"Apa masih sakit?" tanya Steven.

"Ya," gumamku lirih.

Steven tersenyum cerah karena aku bisa mengucapkan sesuatu. Dia lega. "Kau ingin makan sesuatu?"

Aku meminum cokelatku lagi. "Ya. Nanti," jawabku.

"Maafkan aku, Rosaline. Aku tidak bisa menjagamu dari bajingan itu."

"Tidak," kataku lirih. Tanpa sadar aku terisak. "Brian selalu menemukanku."

"Oh, maafkan aku, Rosaline. Jangan menangis, kumohon. Aku tidak bisa menyentuhmu."

"Peluk aku?" Aku ragu jika itu lebih terdengar seperti perintah daripada pertanyaan.

Mata Steven melebar menatapku. Membantuku meletakkan gelasku dan memelukku. "Oh, Rosaline."

Ini pertama kalinya Steven bisa menyentuhku dengan bebas. Aku ingin bicara lebih padanya. Dia akan lebih mengerti diriku. "Duduk di sampingku?"

Steven menarik diriku dan tatapannya melebar lagi. Tapi dia menurut dengan senang hati. Dilepaskan sepatunya dan dia naik ke kasur, duduk di sampingku, bersandar kepala ranjang. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Dia memelukku dengan lembut.

"Bajingan itu gila," gumamnya.

"Ya."

"Tidak. Dia benar-benar gila. Dia terdiagnosis sakit jiwa. Keinginan untuk menyakiti seseorang. Dia hanya melakukan itu padamu, karena—"

"Dia mencintaiku," sambungku.

"Ya. Dia sangat mencintaimu. Dia gila saat kau pergi. Dia sangat menginginkanmu." Steven menyeringai. "Bagaimana bisa seseorang menyakiti orang yang dicintainya seperti itu? Seperti ini?" Diusapnya lembut pergelangan tanganku. Sedikit berdenyut-denyut saat Steven menyentuhnya, tapi aku bisa menahannya.

Crashing ControlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora