Lima

9.3K 710 3
                                    

Tangan-tangan sialan itu mencengkeram pergelangan tanganku lagi dengan erat. Aku tidak berkutik. Batinku menjerit tapi aku tidak menemukan suaraku. Itu tertahan bahkan belum mencapai tenggorokanku. Dadaku terhujam bertubi-tubi saat sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipiku. Aku memekik. Pipiku berdenyut-denyut. Tapi aku masih belum menemukan suaraku. "Bagus, seperti itu Rossy Gail-ku sayang." Dia tertawa kencang melihatku membisu. Itulah yang diinginkannya. Aku diam menerima ini semua. Aku tidak melihat wajahnya. Aku muak. Tapi herannya, aku masih menerima ini semua darinya.

Dia menggeranyangi leherku. Aku merasakan dagunya di sana. Dia beraroma alkohol tajam. Aku nyaris muntah mengendusnya. Tidak mengerti pada diriku sendiri kenapa aku mencintainya. Kupalingkan wajahku. Dia menggeram tidak senang. Justru dia membantu berpaling dengan memutar kepalaku hingga tulang pipiku menghantam dinding begitu sakitnya, mengingat aku sedang terhimpit di antara dirinya dan dinding. "Kau tidak akan melawanku, Rossy sayang." Dulu aku menyukai panggilan itu, kini panggilan itu justru membuatku gemetar hebat. Dia suka melihatku ketakutan.

Sesuatu disiramkan ke kepalaku. Aku semakin menjerit dalam batinku karena mengendus bau cairan yang baru saja mengalir ke wajahku. Dia menyiramku dengan bir. Dia tertawa sekeras-kerasnya melihatku tersiksa dengan aroma alkohol yang memuakkan. Aku masih tidak bergeming. Dia terus melakukan itu padaku. Berulang kali. "Kemarilah, Rossy." Tangan sialannya mencengkeram pergelangan kakiku. Dia menyeretku membuat kepalaku menghantam lantai. Itu membuatku berjengit.

Kubuka mataku. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Seolah teriakan itu sudah lama teredam.

Tidak. Aku tidak di sana. Aku di sofa apartemenku.

Aku hanya mimpi.

Ya Tuhan.

Wajahku basah. Saat aku menyekanya, aku mengendus aromanya. Bukan alkohol. Syukurlah. Itu keringatku sendiri. Aku menghela napas lega. Itu mimpi.

Pergelangan kakiku terasa berdenyut-denyut seolah aku benar-benar baru saja ditarik bajingan itu. Aku teringat, itu bukan. Kakiku memang terkilir kemarin lusa. Aku menghela napas lagi mengucap syukur. Itu hanya mimpi. Itu hanya mimpi.

Telepon di samping sofa berdering nyaring membuatku tersentak. Kulihat jam digital di samping telepon, itu pukul enam pagi. Aku mengatur napasku. Menjauhkan diri dari mimpi burukku. Telepon masih berdering menunggu untuk diangkat. Aku bertanya-tanya siapa yang menelpon pagi-pagi begini.

"Gail," jawabku serak.

"Rosaline, apa kau baik saja?"

"Evan?" Kusadari orang ini yang baru saja memicu diriku bermimpi buruk karena tangannya itu. Sudah bertahun-tahun aku tidak mendapatkan mimpi itu. Sekarang aku seperti idiot yang kehilangan akalnya setelah bangun dari tidurnya. "Mau apa kau?" kataku sinis.

"Kau tidak menjawab pesanku, Rose. Aku menelponmu semalaman. Kau membuatku gila! Apa kau baik-baik saja? Aku mau minta maaf padamu."

"Aku membuatmu gila? Kau yang membuatku frustasi, brengsek! Sekarang tinggalkan aku sendiri. Jangan pernah menghubungiku lagi kecuali itu bagian dari pekerjaan!"

Aku menutup telepon dengan keras. Aku marah. Aku beruntung karena otakku masih merespon untuk marah.

Telepon berdering lagi. Aku langsung mengangkatnya.

"Gail," bentakku.

"Kumohon, Rosaline. Biarkan aku meminta maaf." Suara Evan terdengar ketakutan diujung sana. Dia menggeram. "Maafkan aku karena menyentuhmu. Membuatmu... menangis."

"Termaafkan, Wright. Sekarang tinggalkan aku."

Aku menutup telepon lagi. Belum ada satu menit aku menutupnya, telepon sialan itu berdering lagi. Evan Wright memang sedang menyulut emosiku kali ini. Aku mengangkat teleponnya.

Crashing ControlWhere stories live. Discover now