Sembilan

7.9K 690 9
                                    

Sial sial sial. Tidak, jangan dia!

"Bagaimana kabar—"

Klik.

Cepat-cepat aku mematikan ponselku sebelum dia sempat bicara. Tanganku gemetar hebat. Sialan! Bagaimana dia bisa tahu nomor ponselku? Apa yang dia inginkan dariku? Aku tidak punya apa-apa lagi yang tersisa selain masa lalu sialan itu. Tidak. Tidak. Tidak.

Aku melemparkan ponselku hingga jatuh begitu saja di karpet. Tanganku masih gemetar. Ponsel sialan itu berdering lagi. Masih dengan nomor pribadi! Tidak. Aku tidak mau mengangkatnya. Dering ponsel itu membuatku gila. Kutempatkan tanganku di telingaku. Jari-jariku mengacak-acak rambut. Tidak. Tidak. Berhenti berdering, keparat! Kutarik lututku dan membenamkan wajahku. Aku tidak bisa menangis. Aku ingin menangis. Aku terlalu sibuk gemetar hingga lupa caranya menangis. Tidak. Jangan dia lagi!

Telepon rumahku berdering nyaring begitu ponselku senyap. Membuatku tersentak menjauh. Jatuh dalam pangkuan si beruang. Aku menelan ludah memberanikan diri mengangkat telepon itu. Apa itu masih dia? Jika dia tahu nomor telepon apartemenku, dia pasti dengan mudahnya tahu di mana aku.

"G-ga-il," jawabku gemetar. Suaraku serak.

"Sayang? Apa kau baik-baik saja?"

Evan. Ya Tuhan. "E-evan." Sial. Kenapa aku terus gemetar!?

"Rosaline, demi Tuhan, apa yang terjadi padamu?" Suaranya terdengar panik.

Aku harus mengatakan apa? Kenapa suaraku tidak mau keluar!? "E-Evan."

"Demi Tuhan, Sayang, katakan padaku apa yang terjadi!?"

Suaraku tercekat. Aku tidak bisa mengeluarkan apa pun dari tenggorokanku. Kuputuskan untuk menutup telepon. Sementara tanganku masih gemetar. Menimbulkan hentakan aneh saat aku meletakkan telepon. Aku mencabut saluran telepon dan kembali ke sofaku. Persetan dengan panggilan! Aku bahkan tidak bisa bicara!

Apa yang harus kulakukan? Aku akan kehilangan akal jika terus seperti ini. Kuberanikan diri meraih ponselku. Aku memeluk beruangku erat-erat. Ya Tuhan, berhasil! Evan menenangkan aku secara tidak langsung. Dengan beruang ini!?

Persetan. Aku seperti gadis menginjak remaja. Begitu emosional.

Kunyalakan ponselku. Terdapat dua panggilan dari nomor pribadi. Dia sudah tidak menelpon lagi. Mungkin bajingan itu sedang tertawa keras mengetahui aku ketakutan. Dia berhasil. Ya Tuhan, dia selalu berhasil melakukan ini padaku.

Aku masuk ke menu pesan. Mengetik pesan dengan tangan yang masih gemetar.

Kepada: Steven

APARTEMENKU. SEKARANG!

Aku menekan kirim. Melempar ponselku begitu saja ke sofa yang entah mendarat di mana. Aku memeluk beruangku erat-erat dan mulai menangis.

Ya Tuhan. Itu dua belas tahun lamanya dan bajingan itu masih bisa membuatku seperti ini. Tidak bisa kupercaya aku kehilangan diriku seutuhnya. Apa yang dia inginkan? Bagaimana jika dia kembali dan menangkapku, menyiksaku, mempermainkanku, membuat luka di mana pun dia mau. Tubuhku, hatiku—brengsek!

Pikiranku melayang kepada Evan. Apa yang akan Evan lakukan jika mengetahui semua masa laluku? Sial, tidak terpikirkan olehku. Mungkin dia akan meninggalkanku begitu saja seperti pria brengsek itu. Apa yang akan dipikirkan Evan jika aku tetap tidak bisa disentuh? Kami tidak mungkin menjalani hubungan yang lebih serius tanpa sentuhan kulit dengan kulit. Aku hanya wanita rumit. Evan bahkan bisa mendapatkan wanita mana pun yang lebih waras ketimbang aku. Seperti yang dilakukan bajingan itu. Ya!

Crashing ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang