Tiga Belas

8.3K 616 5
                                    


Semua masalah yang tejadi minggu ini membuatku melupakan akhir pekan yang seharusnya menjadi sesuatu yang membuatku gugup. Aku harus menghadiri acara ke New York bersama Evan. Pesta yang sangat penting. Aku tidak percaya aku akan menghadirinya.

Evan menjemputku sepulang kerja di hari Jum'at. Kami akan berangkat ke New York malam ini untuk menghadiri acara besok malam. Astaga, aku benar-benar merindukannya. Alih-alih hanya sepanjang kamis aku tidak bertemu denganya. Mobil Evan sudah terparkir dan dia bersandar di mobilnya, menungguku.

"Hai sayang," sapanya. Lalu mendaratkan ciuman di pelipisku—di depan kantorku! Dia mengenakan kemeja putih tanpa dasi dan celana jins biru gelap. Rambutnya sedikit acak-acakan. Dia terlihat luar biasa, seperti biasanya.

"Aku tidak percaya aku akan menginjakkan kaki di New York," kataku takjub.

"Ya. Aku tahu kau suka berpergian dan berpindah-pindah," katanya sambil membukakan pintu untukku dan kami masuk dari sisi yang sama di bangku belakang. Paul yang sudah bersiap di bagian kemudi, langsung menyalakan mobil begitu pintu tertutup.

"Bagaimana kau tahu aku suka berpindah-pindah?"

"Riwayat hidupmu. Kau menghabiskan masa kecilmu di New Jersey hingga SMP. Seattle saat SMA. Kuliah di Columbia karena beasiswa. Kembali lagi ke Seattle untuk bekerja. Pindah tugas ke Washington DC dua minggu yang lalu—"

Sialan. Dia bahkan ingat di luar kepalanya. Aku tidak punya bahan cerita lagi untuk menceritakan diriku—atau mungkin... aku masih punya satu lagi. "Kau benar-benar menyebalkan dengan menguntitku," komentarku.

"Kau tahu aku ahli melakukan itu." Evan tersenyum. "Aku punya sesuatu untukmu."

"Oh ya?"

"Mm hmm." Dia mengambil sebuah kotak dari bawah kursinya. Kotak silver dengan pita hitam yang melilit. "Bukalah."

Aku menarik pita dan membuka kotak itu. "Gaun?" Itu adalah gaun sutra berwarna silver yang terlihat indah dan glamor. Dengan lengan satu inci yang akan melingkari pundakku.

"Ya. Untuk menghadiri pesta."

Aku tidak tahu harus merespon apa. "Ini berlebihan, Evan. Aku punya satu lemari penuh—bukan, bukan satu lemari. Tapi satu ruangan penuh gaun. Aku bisa memilih salah satunya. Kau tidak perlu membelikanku lagi."

"Kau bisa bilang terima kasih."

"Ya, terima kasih. Tapi—"

"Sama-sama, Miss Gail," potongnya.

Kenapa dia begitu menyebalkan dengan semua uangnya!?

Aku hanya membawa beberapa setel pakaian untuk menghabiskan akhir pekan di New York. Aku juga membawa beruangku, Evan—aku tidak akan meninggalkannya. Kami berangkat setelah memakan makan malam buatan Annie.

Aku pasti terlalu lelah hingga tertidur dan tidak tahu bagaimana bisa aku bangun di sebuah kamar yang asing bagiku sambil memeluk beruangku. Masih dengan baju yang sama yang kukenakan semalam dan sepatu botku yang sudah tertanggal. Kulihat jam di meja samping kasur, itu sudah pukul setengah tujuh pagi. Aku hanya ingat aku terlelap di mobil, bersandar bahu Evan.

Aku tidur seperti orang mati. Ya Ampun.

Kamar itu seukuran dengan kamarku di apartemen Evan. Seluruh bagiannya adalah perpaduan putih dan abu-abu. Ranjang king size dengan seprai putih dan selimut abu-abu yang membalutku. Sebuah lemari bergaris abu-abu dan putih—kali ini benar-benar lemari. Satu meja rias abu-abu, sofa abu-abu di ujung kasur dan dua pintu abu-abu. Pasti salah satunya mengarah ke kamar mandi.

Crashing ControlWhere stories live. Discover now