Part 15 : Diaz

9K 227 9
                                    

Sudah beberapa menit berlalu sejak aku bangun dan berniat mencuci muka suara handphone berbunyi menandakan panggilan masuk ternyata Nico. Dia berniat untuk ijin tidak masuk hari ini, entah karena apa. Karena hari ini di kantor tidak ada pekerjaan yang terlalu mendadak kuputuskan untuk tidak mempermasalahkannya karena Jean bisa ku urus untuk hari ini.

Aku membangunkan Jean setelah sarapan pagi sudah siap di meja makan. Dengan patuh Jean beranjak dari ranjangnya menuju wastafel untuk mencuci muka dan berkumur. Langkah kaki kecil itu segera menemuiku di meja makan untuk sarapan bersama.

“Pagi Jagoan Ayah!” sapaku  hangat saat Jean sudah duduk manis dikursinya.

“Pagi Ayah Jagoan!” jawab Jean riang dengan mimik muka yang lucu membuat pagiku cerah.

“Kau mau sereal atau roti?” tanyaku seraya menunjukkannya pada Jean.

“Pagi ini aku mau sereal ayah,” katanya.

Aku pun menuangkan sereal dan susu segar ke dalam mangkok sedang.

“Ini dia sarapanmu, Jagoan Ayah!” kataku mantap menyerahkan mangkok bersisikan sereal.

Sarapan pagi ini terasa berbeda, karena biasanya ada kami bertiga Jean, aku dan Nico. Kali ini terasa lebih intim antara Ayah dan anak. Mungkin sesekali dalam seminggu memang diperlukan untuk membangun hubungan diantara kami. Kehadiran Jean dalam hidupku adalah suatu anugerah, dan mungkin satu-satunya hal manis yang direncanakan oleh ibuku.

Sudah lama juga aku tidak mengunjunginya, sejak ibuku berupaya agar aku sesegera mungkin menikah. Mungkin sekitar lima tahun yang lalu, yah memang sangat lama.

“Bagaimana kalau kita mengunjungi Nenek hari ini?” tanyaku pada Jean yang sedang memainkan legonya yang disambut dengan mata berbinarnya.

Tanpa menunggu waktu yang lama, aku segera menyiapkan perlengkapan Jean dan aku sendiri, mungkin akan menginap selama beberapa hari mengingat sekarang adalah akhir pekan, aku yakin ibuku akan senang dengan kehadiran kami berdua. Apalagi ini merupakan kunjungan perdanaku kerumah orangtuaku disaat ibuku dan aku mengibarkan bendera perang, dan tentu saja juga kunjungan perdana Jean kerumah Neneknya. Aku yakin akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan untuk kami berempat dengan Ayahku tentu saja.

“Pakai jaketmu Boy,” perintahku pada Jean yang masih asyik dengan legonya.

Dengan sigap Jean berlari kecil, menuju kamarnya dan memakai jaket yang telah kusiapkan untuknya.

“Bolehkah aku membawa lego-lego itu kerumah nenek?” Pintanya padaku sesaat setelah dia selesai mengenakan jaketnya.

“Tentu saja,” jawabku dengan tersenyum.

Mendengar jawabanku, mata Jean terlihat lebih berbinar dari sebelumnya membuat siapapun yang melihatnya semakin gemas.

Kami –aku dan Jean- sudah berada didalam mobil sejak lima belas menit yang lalu menembus jalanan yang cukup ramai, menuju ke arah utara dimana ibuku tinggal. Sedari tadi Jean Nampak bersemangat melihat jalanan yang cukup ramai dari balik jendela. Aku tersenyum melihat kelakuannya yang sangat polos. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Jean yang bisa mengubah warna hidupku, tentu saja aku harus berterimakasih pada ibuku. Apakah aku akan berdamai dengannya? Oh tentu tidak! Sebelum aku menemukan gadis itu. Hanya Dia.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai dirumah ibuku. Jean langsung berlari menuju rumah. Aku hanya tersenyum geli melihatnya yang sangat antusias. Hal yang sesederhana itu bias membuatnya bahagia luar biasa, aku iri padanya. Kapan terakhir kali aku merasakan bahagia yang meluap dengan hal sederhana? Entahlah, mungkin pernah dimasa lalu.

Tampak ibuku keluar menyambut Jean dengan hangat, dan membawanya dalam pelukannya.

“Hai sayang, bagaimana sekolahmu?” Tanya Ibuku pada Jean

“Aku memiliki banyak teman Nek!” serunya bangga. “Jade, Wina, Hilda, Adam, Stefan,” lanjut Jean membuktikan perkataannya yang direspon ibuku dengan tawa yang renyah melihat kelakuan cucunya.

Aku ikut tersenyum melihat kedekatan mereka, aku rasa Jean memiliki pesona yang kuat untuk meredakan ketegangan diantara kami.

Ibu menatap mataku.

“Baiklah jagoan, masuklah dulu,” kata ibu pada Jean

Tanpa berkata dua kali Jean melesat masuk kedalam.

“Hai Mam,” sapaku kikuk padanya.

“Bagaimana kabarmu?” Tanya Ibuku melembut.

“Baik,” jawabku yang entah mengapa terasa aneh.

“Masuklah,” kata ibuku seraya meletakkan tangannya pada pinggangku.

Rumah ini tidaklah berubah sejak aku meninggalkannya dulu. Rumah yang didominasi warna putih kesukaan ibu. Putih melambangkan kebersihan menurutnya, tidak denganku putih sama halnya dengan membosankan. Aku menelusuri ruangan demi ruangan hanya sekedar mengingat kejadian demi kejadian di masa lalu.

“Diaz, bisakah kau menuruti ibu untuk sekali ini saja?” wajahnya nampak lebih tua dari seharusnya membuatku merasa aneh untuk waktu yang lama.

Tak sadar aku mengerutkan keningku, menelusuri wajah wanita separuh baya dihadapanku ini. Adakah yang salah darinya? Bukan aku bermaksud jahat, tetapi sepertinya dia tidak pernah berlaku selembut ini beberapa tahun terakhir ini.

“Menikahlah nak,” katanya sambil menangis.

Ya Tuhan! Tidak bisakah ia meninggalkan pembicaraan tentang pernikahan sedikitpun? Aku tentu akan menikah, tetapi tidak sekarang.

“Aku kira mengunjungimu adalah kesalahan,” kataku sambil berlalu.

***

Aku menghampiri kamar tidur Jean, kukira dia sudah tertidur ternyata dia sedang memikirkan sesuatu.

“Hey Boy!” kataku seraya mengambil tempat dipinggir ranjang.

Jean hanya menatapku lekat-lekat, aku merasa hari ini buruk sekali. Saat semua orang menatapmu dengan pandangan yang sulit kau tebak.

“Ada apa?” tanyaku berusaha mencari arti dari tatapan Jean.

“Aku menginginkan seorang ibu,” jawabnya takut-takut.

Aku menghela napas panjang setelah mendengar jawabannya.

“Aku iri sekali, setiap aku pergi ke sekolah. Mereka selalu diantar oleh Ibu mereka, sedangkan aku bersama dengan Nico,” lanjutnya sedih.

“aku senang jika Nico seorang wanita. Ayah tahu, Nico tidak cocok jika menjadi lelaki,” Jean terus saja bercerita.

Kalimat terakhir Nico membuat aku memikirkannya, bahkan ketika aku ingin tidur. Apa yang Jean bilang memang ada benarnya. Nico terlalu mungil untuk seorang lelaki, dan bahkan aku tidak menyelidiki latar belakangnya lebih lanjut. Jika Nico benar-benar seorang wanita, tentu saja ini sebuah kesalahan yang fatal.

Dengan sigap aku meraih ponsel yang kuletakkan diatas meja kecil, aku menghubungi nomor James untuk menyelidiki apapun tentang Nico, dan memintanya untuk segera melaporkannya di kantor besok pagi.

Setelah itu, akupun dapat tidur dengan nyenyak.

***

Aku baru saja tiba dikantor tepat pukul 10 pagi, setelah mengantarkan Jean ke sekolah. James memasuki ruangan dan memberikan informasi yang aku minta dan semua hal ini mengejutkanku.

Semua yang dipikirkan Jean benar, tidak ada Nico seorang lelaki, yang ada hanyalah Selina Nicola Adam. Dulunya ia bekerja sebagai guru dan juga pelayan di restoran cepat saji. Dia tinggal bersama sahabatnya yang seorang make up artis. Tunggu, bukankah dia wanita yang aku temui?

“Betapa menariknya ini,”

Tanpa terasa aku tersenyum memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Accident in LoveWhere stories live. Discover now