Part 3 : Diaz

15.1K 274 4
                                    

“Nenek Sihir sialan!” makiku dalam hati

Bukannya tidak hormat kepada ibuku, tetapi masalahnya perempuan kali ini yang dibawanya sangat sangat menjengkelkan. Aku rasa itu tidak termasuk dalam pemborosan kata, jika kalian ingin mengerti maksudku dalam arti sebenarnya.

James, sekretarisku yang sejak setibanya aku dikantor yang telah memperingatiku akan kesialan ini, tidak berinisiatif menjauhkanku dari Natalie, dia hanya tersenyum geli.

James sudah berkeluarga dia memiliki satu orang anak laki-laki, dan aku yakin dia berada dibarisan ibuku. Sepertinya aku harus memikirkan ulang mempekerjakannya sebagai sekretarisku.

“Ayolah Sayang, tinggalkan pekerjaanmu hari ini untukku,” Suara sumbang terdengar dan membuyarkan lamunanku. “Lagi pula ibumu mengijinkan,”

Apa yang dia bilang barusan? Sayang?! Aku harus meninggalkan pekerjaan yang aku cintai hanya demi perempuan yang aku tidak tahu asal-usulnya?! Dan tidakkah dia sadari bahwa terjadi perang dingin antara aku dan ibuku hanya karena dia?!

“Aku harus meluruskan sesuatu padamu,” kataku dengan nada penuh penekanan.

“Pertama namaku Diaz, jangan sekali-kali memanggil namaku dengan nama yang Kau inginkan, kedua Kau disini bukanlah tamuku dan Kau tidak memiliki kepentingan apapun yang menyangkut pekerjaan denganku, dan yang ketiga sebaiknya Kau tidak ada dihadapanku saat ini,” kataku tajam penuh dengan atmosfer mengintimidasi.

Aku melihat kearah James yang kembali sopan padaku. Aku mengalihkan pandanganku pada Natalie, dirinya terlihat gugup akan perubahan atmosfer diruanganku tetapi dengan cepat, dia dapat menguasai situasi.

“Wow! Baiklah Diaz, aku akan menunggumu di lobby,” katanya tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku.

Oh Tuhan! Apa yang sedang kau rencanakan untukku? Aku akan pastikan bahwa Nenek Sihir tidak akan memenangkan permainan ini.

Baru saja aku mengembalikan konsentrasiku pada pekerjaan, dan secara bersamaan pintu ruanganku terbuka dengan paksa. Berdiri sosok wanita paruh baya masih tampak jelas sisa kecantikannya, wanita tersebut berjalan angkuh memasuki ruanganku dan mendaratkan pantatnya ke sofa yang terletak ditengah ruangan.

“Natalie kurang cantik apa Diaz? Hanya lelaki yang tak normal yang menolak perempuan secantik itu!” jerit keputus asaan Nenek Sihir.

Terlihat wajahnya berubah warna dari putih pucat khas orang Amerika Latin menjadi merah padam, tidak bisa kutafsirkan bahwa Nenek Sihir yang berada dihadapanku sedang marah atau menahan hasrat ingin membunuhku.

“Diaz, Kau, Kau?” tanyanya tersendat putus asa seolah kehilangan nyawa “Kau normalkan?” lanjutnya ketika menemukan kembali nyawanya.

Dalam hati aku tertawa terpingkal mendengar pertanyaannya yang dipenuhi segudang kekhawatiran yang  berlebihan, aku normal? Tentu saja! Tetapi aku tidak menyukai perempuan yang disodorkan oleh ibuku, mengapa? Oh tentu saja karena mereka semua setipe dengan Ibuku dan aku rasa Ayahku cukup sabar menghadapi sifat ibuku, tetapi aku tidak! Maka dari itu mereka semua kutolak dengan tegas.

Masih kuperhatikan wajah Ibuku yang sedang berada dihadapanku ini, dan menimbang-nimbang jawaban apa yang tepat agar beliau berhenti menganggu rutinitas hidupku yang damai.

“Baiklah Diaz, kurasa untuk kali ini Kau sebaiknya memperlakukan Natalie dengan baik,” Kata Nenek Sihir sebelum aku sempat menemukan jawaban yang tepat agar ibuku berhenti menggangguku.

Diraihnya aku dalam pelukan yang selama ini kurindukan, kubalas penuh kasih sayang pada wanita dihadapanku, kucium keningnya setelah kami melepas pelukan perpisahan. Dirinya pun meninggalkan ruanganku.

“Aku tidak janji Ma,” gumamku pelan

Jangan katakan bahwa aku tidak menyayangi ibuku. Salah! Aku menyayanginya sepenuh hatiku, hanya saja akhir-akhir ini hidupku terusik oleh kehadiran perempuan ketiga yang selalu disodorkan Ibuku padaku, dari anak sahabat baiknya hingga beliau merancang sebuah pertemuan yang tidak disengaja agar perempuan kenalan ibuku bisa menjadi menantunya. Padahal aku masih nyaman dengan statusku yang masih lajang. Hal itulah yang membuat hubungan kami seperti kucing dan anjing yang selalu tidak rukun.

***

 Hari ini sungguh sial! Natalie yang kukira telah meninggalkan kantorku, ternyata dia dengan santainya duduk manis di lobi dan terkadang bercanda gurau dengan beberapa karyawan yang kebetulan sedang tidak bertugas.

Jika dilihat, memang Natalie sangat manis dengan rambutnya yang kecoklatan, mata bulat dengan manik mata hijau zamrud serasi dengan bulumata yang lebat nan lentik. Tingkahnya pun tidak mengecewakan membuat nyaman orang disekelilingnya. Hanya saja sayang, aku tidak ingin Nenek Sihir itu memenangkan permainan.

Dan disinilah kami, tepat puku 12 lewat 15 pagi aku dan Natalie berada di perempatan jalan, dan perutku yang sedari tadi belum tersisi makan malam pun meminta jatahnya.

Natalie menarik tanganku dan memaksaku mengikuti langkah kakinya menuju restoran cepat saji yang berada di ujung jalan. Aku melepaskan pegangan Natalie padaku dan jalan mendahuluinya.

Aku memasuki restoran cepat saji tersebut, cukup nyaman juga.

“Selamat datang, silahkan lewat sini,” Sebuah suara yang merdu mampir ditelingaku.

Aku menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa kutafsirkan. Aku mengikuti perempuan yang tingginya tidak sampai daguku. Matanya tajam tetapi memiliki pandangan yang teduh, aku masih belum tahu pasti warna manik matanya, rambutnya kuning keemasan bergelombang sepunggung, badannya padat dan berisi dengan kaki yang jenjang tanpa cacat.

Tak sadar aku pun menilai semuanya. Wajahnya sempurna, kakinya sempurna, tangannya sempurnya, badannya sempurna, hingga suaranya sempurna, aku tidak tahu apa yang kurasakan apalagi debar jantungku sepertinya berdetak lebih cepat? Apakah itu normal?

Accident in LoveWhere stories live. Discover now