BAB 6.1. PRASASTI

789 87 3
                                    

Ruang Kuliah C 1.5, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Tanjung Paser (d/h Universitas Penajam), 13.00 WITA

Di ruang berisikan sejumlah kursi podium berundak yang makin menurun seiring dengan mendekatnya jalur tersebut ke meja pusat di mana para presentator seharusnya berada, tiga orang mahasiswa tampak saling berbisik-bisik gugup di hadapan meja berlayar sentuh sementara di hadapan mereka para kawan dan seorang dosen mereka – yang tak lain adalah Abbas Khalid – tampak menunggu-nunggu mereka bertiga menampilkan presentasi mereka.

"Kok lama ya?" Abbas tampak melirik jam tangannya, mengingatkan ketiga mahasiswa itu untuk segera memulai presentasi mereka.

Dengan takut-takut seseorang dari mereka mulai membuka presentasi mereka, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa 'alaykum al-salaam warahmatullahi wabarakatuh," jawab seisi kelas tak terkecuali Abbas.

"Pada kesempatan kali ini kami akan mempresentasikan soal linimasa kerajaan paling besar di Bumi Nusantara yang lazim kita kenal sebagai Majapahit. Yang mana ....," mahasiswa itupun mulai berbicara panjang lebar soal presentasi kelompoknya. Mahasiswa itu dan kedua temannya berbicara selama setidaknya 20 menit sebelum Abbas menghentikan paksa presentasi mereka.

Pak dosen eksentrik yang saat ini tengah mengenakan kemeja pink dan celana biru muda langit itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengetuk-ngetuk layar sabak elektroniknya.

"Mengerikan!" katanya.

Lalu seisi kelas terdiam. Ketiga mahasiswa yang ada di depan wajahnya menjadi makin pias.

"Ada yang tahu ini mata kuliah apa?" tanya Abbas pada seluruh yang hadir di sana.

"Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Klasik, Pak," celetuk seorang mahasiswi.

"Bagus, Tira! Terus apa yang dibahas tiga kunyuk tadi ini di depan?" ujar Abbas sengit.

"Cenderung seperti materi yang dibahas di Mata Kuliah Sejarah Asia Tenggara, Pak. Hanya membahas sejarah Majapahit bagian yang pokok-pokok saja Pak," sahut mahasiswa yang lain lagi.

"Hei kunyuk tiga? Dengar itu?!" ujar Abbas.

Ketiga mahasiswa di depan itu hanya mengangguk lemah.

"Kalau tahu ini Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan harusnya kalian bahas unsur budayanya, Kunyuk! Bahas gaya bahasa Pararaton kek, bahas gaya bahasa Negarakertagama kek, bahas sejarah Topeng Monyet kek! Siapa yang minta kalian bikin materi ajar Majapahit untuk anak SMA? Apa itu presentasi kalian tadi? Raden Wijaya jadi raja tahun sekian-sekian, terjadi pemberontakan si A si B pada tahun sekian-sekian, habis mangkat digantikan Jayanegara! Bung! Saya yakin semua teman kalian di sini juga sudah pada tahu soal itu!"

"Ma-maaf Pak!" seorang dari ketiga mahasiswa itu meminta maaf dengan gugup, "Tapi karena banyak tugas jadinya kami salah baca tugasnya Bapak jadi..... ."

"Sudahlah, kalian bertiga turun saja!" Abbas yang sudah dongkol dengan ketidakbecusan tiga mahasiswa itu akhirnya beranjak ke meja depan dan berkata, "Saya harap minggu depan kelompok berikutnya tidak mengulangi kesalahan yang sama dari mereka bertiga. Kuliah hari ini saya akhiri sekian saja. Terima kasih. Selamat siang."

*****

Abbas berjalan pelan ke ruang kerjanya. Tubuhnya yang lumayan subur memang agak sulit diajak jalan cepat apalagi diajak lari. Begitu ia sampai di depan ruang kerjanya, didapatinya Oka tengah menunggunya di bangku tamu.

"Ada apa Oka?" Abbas tampak heran karena bocah itu tidak seperti biasanya datang tiba-tiba tanpa ada kabar dari Samad.

"Prof. Denny meminta saya kemari, beliau ingin Pak Abbas mengidentifikasi sesuatu," ujar Oka yang tampak membawa sebuah kotak logam aluminium di tangannya.

Abbas memang tidak punya dendam ataupun masalah dengan Denny, tapi kawan lamanya – Samad – punya. Sejujurnya ia tak masalah membantu Denny tapi demi kesetiakawanan akhirnya ia bertanya, "Samad tahu?"

"Tahu dan setuju Pak Abbas," jawab Oka.

"Baguslah. Aku tidak mau Doktor Samad ngomel padaku," ujar Abbas sembari memindai jarinya di panel pintu ruang kerjanya.

"Sebenarnya ada apa antara Doktor Samad dan Prof. Denny, Pak Abbas?"

"Mereka punya ... semacam masalah rumit berkaitan dengan uang, jabatan, wanita, karir, penghargaan, ego ilmuwan dan sebagainya. Tapi maaf, saya tidak bisa bicara padamu soal itu. Belum waktunya. Nah! Sekarang apa yang diminta Denny dariku?"

Oka meletakkan kotak aluminium tersebut di hadapan Denny lalu membuka kuncinya dengan memindai arloji berlogo Dwarapalanya ke sebuah panel kontrol. Kotak itu membuka dan Oka kemudian mengambil sepasang sarung tangan karet dari saku celana panjang pramukanya lalu mengambil sebungkus plat logam yang dibungkus plastik. Pada plat logam itu tertulis aksara yang tak lazim digunakan pada masa ini.

Mata Abbas membeliak menyaksikan plat logam pertama yang dikeluarkan Oka, matanya makin melebar ketika Oka mengambil enam plat lain dari dalam kotak tersebut.

"I-ini!" Abbas terperanjat dengan kehadiran plat-plat logam itu.

"Pak Abbas tahu ini apa?" tanya Oka.

"Oka, kalau dugaan saya ini tidak salah," Abbas mengambil sebuah sarung tangan karet dan membuka plastik pembungkus sebuah plat logam, "ini meruapakan tulad dari prasasti Sidateka."

"Tulad? Sidateka?" Oka mengernyit tidak mengerti.

"Oh maaf! Saya lupa kamu bukan mahasiswa saya. Jadi begini, di masa lampau, ada kebiasaan menyalin ulang isi sebuah prasasti yang dikeluarkan seorang raja oleh raja penerusnya. Misalnya raja-raja Majapahit menyalin ulang isi beberapa prasasti Airlangga. Proses penyalinan ini disebut tulad. Tujuannya tidak lain adalah untuk melestarikan bunyi prasasti dari masa yang telah lampau, sebab tulisan prasasti lama-kelamaan pasti menjadi aus, apalagi kalau prasastinya dari bahan batu pasir yang mudah rusak kalau kena hujan terus-menerus. Proses tulad juga dilakukan pada naskah-naskah kuno yang mereka tulis di atas daun lontar. Gulungan daun lontar setelah lewat puluhan tahun akan menghitam dan lama-kelamaan akan tak terbaca. Guna mencegah hal itu terjadi, keraton-keraton masa kuno menugaskan sejumlah mpu pujangga untuk melakukan tulad pada naskah-naskah yang terancam menghitam dan sirna."

"Lalu apa itu Sidateka?" tanya Oka.

Mulut Abbas menyunggingkan senyum lebar, "Sidateka adalah nama desa di Mojokerto. Di sana sebuah prasasti dari masa raja kedua Majapahit ditemukan. Kamu penasaran kenapa saya bisa simpulkan ini tulad dari prasasti Sidateka? Karena ini Oka," Abbas menunjuk ke sebuah baris tulisan kuno yang tidak dipahami Oka, "Bunyi baris ini adalah : 'Rake Tuhan Mapatih ring Majapahit Dyah Halayudha'. Halayudha adalah mahapatih Majapahit pada era awal pemerintahan Jayanegara! Tak salah lagi! Ini tulad dari Prasasti Sidateka! Dari mana kalian menemukan ini?"

"Dari Pantai Timur," jawab Oka datar, "semalam sensor di sana rusak lagi. Regina dan Nara datang ke sana dan menemukan sesuatu telah merusak turret dan kamera pemantau Unit Lima."

Senyuman di wajah Abbas langsung sirna. Dosen eksentrik itu sadar benar, kalau sebut Pantai Timur berarti ada urusannya dengan Kroda.

"Menurutmu ada kapal yang membawa tulad ini lalu diserang Kroda begitu?"

"Kapten Pusaka juga menduga seperti itu, dan kalau benar ada kapal yang bawa tulad prasasti itu maka Kapten butuh bantuan Bapak untuk turut menyelidiki apakah pembawaan tulad ini melanggar undang-undang perlindungan artefak serta cagar budaya."

"Bilang pada Kapten Pusaka dan Prof. Denny, saya siap dipanggil kapan saja. Semoga saja kru kapal itu masih hidup. Saya punya sejumlah pertanyaan untuk mereka!"

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang