BAB 1.1 : 20.000 KAKI DI ATAS PERMUKAAN LAUT

3.2K 175 26
                                    


Lapangan Terbang Iswahyudi, Madiun, 07.30 WIB

"Berangkat!" itulah kata-kata yang membuat degup jantung Panji Setiawan meningkat dua kali lebih cepat. Rasanya baru kemarin kehidupannya normal-normal saja, namun sekarang hidupnya sudah jadi tidak normal gara-gara persetujuannya dengan ilmuwan bernama Prof. Denny itu.

"Santai saja," kata sang letnan dua berseragam loreng corak biru yang duduk di sampingnya itu, "Kamu kuat, lebih kuat dari kami ataupun para Dwarapala yang mendahului kamu. Kamu pasti tidak kesulitan menghadapi makhluk-makhluk itu."

Kata-kata tulus itu belum dapat membuat pikirannya tenang. Dalam simulasi-simulasi yang telah diadakan sebelumnya, para pelatihnya sudah berkata ia punya kemampuan tempur yang bagus. "Melebihi Dwarapala," kata mereka. Namun itu belum juga membuat pikirannya tenang. Simulasi sering berbanding terbalik dengan kenyataannya. Contoh bagusnya adalah simulasi ujian negara di sekolah dasarnya dahulu. Ia mendapat skor di atas 70 di mata pelajaran matematika, namun nilai ujian negaranya nyaris tidak melampaui angka 60 karena soal ujian negara yang keluar benar-benar di luar simulasi.

Sementara Panji terus berkeringat dingin, pesawat yang membawanya mulai melaju di landasan dan tinggal landas. Pesawat itu bergetar kuat dan beberapa saat kemudian tekanan udara di pesawat berubah seiring dengan naiknya ketinggian pesawat, membuat telinga Panji berdenging sesaat. Pemuda itu menjilat bibirnya yang tipis serta bolak-balik membenahi rambutnya yang sudah basah oleh keringat karena ia sangat tegang. Ia memandangi seluruh tubuhnya yang kini terbungkus zirah graphine berwarna abu-abu metalik. Di sampingnya tergeletak sebuah helm dari bahan serupa. Helm itu memiliki corak berlekuk-lekuk mirip tekstur kulit badak, serta visor dari kaca gelap dengan sebentuk tanduk atau cula mirip cula badak mencuat di bagian dahinya.

Sangar - mengerikan, begitu orang-orang di tempat asalnya akan berkomentar mengenai penampilannya sekarang. Pasti mereka akan berkata seperti itu, karena diapun kini merasa demikian. Dia dibuat takut sendiri oleh kekuatan ini.

*****

Tanjung Pasir, Kaltim, 09.30 WITA

Serangan kali ini tidak main-main. Seolah tahu bahwa pasukan pertahanan utama kota ini telah kalah, para makhluk dari kabut darah itu menyerang dengan kekuatan penuh. Setidaknya ada sekitar 10 Orang Bati yang bisa Oka lihat tengah terbang dan menunggu kesempatan menyerang di angkasa. Sementara di bagian bawah sendiri dikuasai oleh sekumpulan monster ikan bersisik kasar yang berjalan dengan empat kaki serta memiliki moncong yang meruncing panjang bak pedang. Baik medan di darat maupun langit sama-sama buruk. Oka bisa melihat sudah ada sejumlah prajurit yang tergeletak tanpa daya di tepi pantai berkarang tersebut.

"Apa saranmu, Oka?" tanya Kapten Pusaka sembari menyiapkan amunisi.

"Anda komandan penyerangannya, Kep."

"Tapi kamu yang lebih tahu medan."

Oka tidak langsung menjawab. Ia memindai sejenak kondisi medan tempur di sekitar pantai. Namun kali ini ia memperhatikan baik-baik titik kemunculan para Todak dari dalam laut. Polanya kontinyu. Setiap ada Todak yang mati terbunuh, selalu ada Todak lain yang menggantikannya, muncul dari dalam laut. Para prajurit juga terlalu fokus pada para Todak, mengabaikan para Orang Bati yang siap mengancam dari atas sana.

"Saya sarankan kita urus Orang Batinya lebih dulu. Todaknya memang seakan tidak habis tapi Orang Bati di atas sana juga berbahaya."

"Saranmu diterima," terdengar suara senjata Kapten Pusaka yang dikokang, "Siapa yang mau lontarkan granat duluan? Kamu atau aku?"

"Apa sensor pembidik zirah Kemlandingan bisa menandingi Dwarapala, ?" Oka balik bertanya.

"Tidak terlalu. Kamu mau bidik?"

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang