Empat Puluh Tiga

291K 14.4K 1.3K
                                    

"Mereka satu paket. Tapi itu yang bikin indah. Kopi dengan pahit. Mawar dengan duri. Hubungan... juga dengan patah hati."

*

Memang nggak ada yang spesial dari acara dating-nya dengan Letta hari ini. Sarapan di mal, nonton film, shopping, makan siang, ngemil di J.Co, dan sekarang mereka terjebak di tengah kemacetan Ibukota.

Hari ini terasa berbeda. Letta lebih banyak diam, tak cerewet seperti biasanya. Seperti saat di bioskop tadi, cewek itu bahkan sama sekali tidak protes ketika Aldi membeli tiket film Deadpool, bukan film How to be Single yang sebenarnya sangat ingin ditonton cewek itu dari beberapa hari yang lalu. Letta yang aldi kenal tidak seperti itu. Letta yang Aldi kenal pasti akan langsung mengajak Aldi beradu bacot sampai keinginannya terkabul. Nggak diragukan lagi, Letta pasti lagi ada masalah, pikirnya.

Aldi berdehem mengambil inisiatif untuk memecah keheningan yang sudah terjadi selama satu jam di dalam mobil itu. Tapi tak berhasil. Letta hanya bergeming dan terus memalingkan pandangannya. Pikiran dan nyawanya seakan tak berada di sana, terpisah dengan tubuh yang sejak tadi statis menatap ke arah luar lewat jendela kaca mobil di sisi kirinya.

"Let, jangan diem aja dong." Akhirnya Aldi membuka suara. Gerah dengan atmosfer buruk di antara mereka.

"Kalau lagi ada masalah cerita. Siapa tahu gue bisa bantu," ujar Aldi selembut mungkin.

"Gue nggak apa-apa kok," kata Letta. Suaranya sedikit serak karena terlalu lama terdiam.

Hah? Nggak apa-apa gimana? Ini sudah yang kesekian kalinya Letta bilang dia 'nggak apa-apa' dan Aldi jelas bukan tipe orang bodoh yang langsung percaya begitu saja dengan apa yang baru saja dikatakan cewek itu. Tampak jelas kalau 'nggak apa-apa' bukan suatu kalimat yang cocok untuk menggambarkan keadaan Letta sekarang ini.

Gemas. Aldi mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Astaga! Nggak apa-apa gimana? Jelas-jelas lo dari tadi diem aja kayak orang lagi nahan boker. Gue nggak beg—"

"Gue capek! Please, Di. Nggak usah dibahas lagi," potong Letta dengan nada tegas. Absolut. Nggak bisa dibantah. Gadis itu lalu memejamkan mata, mencoba tertidur seolah menghindari pembicaraan mereka.

Aldi menghela napas. "Ya udah. Mungkin lo lagi PMS," katanya seraya kembali fokus pada jalanan di depannya.

Dalam gelap, Letta terus berusaha mengusir pikiran aneh yang sejak tadi menyugesti dirinya agar bersikap angkuh ke Aldi. Serius! Ini bukan mau Letta. Ini keinginan egonya yang ternyata lebih kuat dibanding dirinya sendiri. Tadinya, Letta ingin bersikap biasa saja, tapi setiap kali menatap cowok itu, amarahnya langsung naik. Dadanya kembali sesak seperti kemarin. Dan itu bukanlah perasaan yang nyaman. Jika boleh memilih, seperti kata Raka, Letta ingin melupakan semuanya, semua yang ia dengar kemarin.

***

Letta duduk di pinggiran lapangan menunggu giliran untuk pengambilan nilai olahraga saat tiba-tiba Raka datang menghampirinya. Rasanya biasa saja ketika Letta membalas lambaian Raka dari jauh. Tidak ada yang spesial. Seperti seorang teman yang saling berbalas sapa. Tapi kesan perteman itu dinilai berbeda oleh orang-orang di sekitar mereka.

"Gimana?" tanya cowok itu begitu menempatkan bokong di sebelahnya. Matanya tersenyum saat menatap Letta.

Letta menunjuk ke arah lapangan dengan ujung dagu. "Tuh!

Belum giliran gue."

Raka tertawa. "Bukan itu. Maksud gue, gimana sama Aldi?" "Oh, itu... Parah," kata Letta tak bergairah.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang