Dua

820K 29.1K 1.7K
                                    

Gue lupa bilang. Gue sekelas sama kapten basket kesayangan lo itu. Jangan marah kalo dia gue embat :P

Letta masih tak ada niat untuk terjaga. Matanya terasa  berat, kepalanya pening dan rasa kantuknya lebih dominan  dibanding suara alarm dari handphone yang kini meraung-raung  di sebelahnya. Lima belas menit lagi gue bangun. Janji! katanya  dalam hati. Tapi sayang, rencananya itu digagalkan oleh sebuah  cahaya yang tiba-tiba saja masuk menembus kelopak matanya. 

Silau. Letta menyipitkan mata, lalu menangkis cahaya itu  dengan lengannya. Kini terasa lebih baik. Di hadapannya terlihat  sosok Bik Ina dalam bentuk silhouette yang dihasilkan oleh  backlight dari cahaya di balik jendela yang baru saja dibuka  oleh wanita itu.

"Non, Udah siang. Bangun atuh. Liburnya udah abis," ujar  Bik Ina, pembantu sekaligus tempat curhatnya ketika Kezia tak  ada. "Daddy udah nunggu di bawah. Bangun, Non." Bik Ina kini sudah duduk di tepi ranjang, mengguncang pelan pergelangan  tangan Letta.

Dengan gerakan yang amat lambat, Letta bangkit. Gadis itu  duduk menyandar pada kepala ranjang berbentuk kepala Hello  Kitty besar di belakangnya. Ia menguap lebar. Perlahan, matanya  kembali terpejam. Sebentar lagi, tawarnya dalam hati. 

Demi Tuhan! Rasanya baru sebentar ia memejamkan mata.  Benar-benar sebentar, mengingat semalam ia baru keluar dari  Exodus pukul tiga pagi. 

"Astaga, Non Letta! Malah tidur lagi. Bangun, Non! Haduh  bisa dimarahin Daddy nanti nih. Itu lagi alarm hape-nya belum  dimatiin. Matiin dulu atuh." Bik Ina kelabakan.

"Ya elah, Bik. Baru juga jam berapa," gumam Letta. Masih  dengan mata terpejam, tangannya naik meraba-raba nakas yang  tepat berada di samping tempat tidur. Mencari benda mungil yang  sedari tadi menghebohkan seluruh penjuru kamarnya. Dapat.  Letta menyipitkan matanya. Pukul 06.45. Butuh beberapa detik  sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu.

"KYAAAAA!!!!!" Mata gadis itu mendadak terbuka lebar.  "Mati gue!!!!! BIK INA KENAPA NGGAK BANGUNIN DARI  TADI SIH!!!!"

Tak mau disalahkan, Bik Ina melotot. Untuk ukuran pembantu,  Bik Ina ini tipe yang nggak takut sama majikannya.  "BIBIK UDAH BANGUNIN DUA PULUH TUJUH KALI,  NON. DUA PULUH TUJUH KALI! NON LETTA-NYA AJA  YANG KAYAK KEBO, BANGUNNYA SUSAH! NYUSAHIN  TAU, NGGAK?!" Wanita paruh baya itu langsung bangkit dan  berkacak pinggang di hadapannya.

Letta terhenyak. "DIH! KOK GALAKAN BIBIK SIH?!"

***

Letta mengintip ke dalam kelas melalui jendela kecil pada daun  pintu. Cukup tinggi hingga ia harus berjinjit untuk dapat melihat  ke dalam sana. Matanya mengedar dan kini ia mendapatkan  pemandangan yang amat asing dan belum pernah ditemuinya  selama dua tahun bersekolah di SMA Trandana. Suasana di  dalam terbilang kondusif untuk ukuran hari pertama tahun ajaran  baru. Semua murid bungkam sambil menatap ke arah depan.  Letta langsung mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis,  kakinya mendadak lemas melihat siapa yang sedang bertengger di  depan sana. Bu Lucy, guru killer berambut Bob dengan penggaris  besi yang selalu ada di genggamannya. Sial! Dia wali kelas gue?!  pekiknya dalam hati.

Setelah menimbang-nimbang dan mengumpulkan seluruh  keberaniannya, akhirnya Letta melangkah masuk ke dalam ruang  kelas. Belum ada tiga langkah, Bu Lucy sudah menoleh ke arahnya.  Wajahnya datar, tapi sukses membuat Letta bergidik ngeri.

"Maaf Bu, saya telat." Letta menampilkan senyum termanisnya.  Berharap hal itu akan berguna, tapi nyatanya tidak. Di depanya,  Bu Lucy malah melotot.

"Tanpa kamu beritahu pun Ibu sudah tahu kalau kamu  telat!" Bu Lucy memandang Letta lekat-lekat dari ujung kaki  hingga ujung rambut. Ia mengembuskan napas, lalu menggelengkan  kepala. Pertanda buruk. 

I'm YoursWhere stories live. Discover now