Tiga Puluh Tujuh

293K 18.7K 944
                                    

Karina Athalarisa: Kamu kok belum pulang, Rak?

Raka Fernando: Aku lupa bilang kalau hari ini ada acara sertijab tim basket. Kamu makan siang duluan aja. Kayaknya aku pulang sore. Maaf ya Karin :(

Pulang sore lagi. Sudah dua hari Raka melewatkan makan siangnya dengan Karin karena hal yang di luar perhitungannya. Sebenarnya acara serah terima jabatan sudah selesai setengah jam yang lalu, namun gangguan datang saat Defari Putra Armanes, cowok yang baru saja menjabat sebagai kapten tim basket Trandana itu menghampirinya. Def bilang setelah acara selesai seluruh anggota basket diwajibkan ke rumahnya untuk pesta kecil-kecilan sebagai perpisahan karena kelas XII tidak akan aktif lagi di dalam tim. Awalnya Raka menolak dengan sopan, namun Kevin selalu bisa memengaruhinya.

"Lo harus ikut, Rak!"

"Males ah," ujar Raka setengah berbisik. Takut Def tersinggung jika mendengar perkataannya.

"Sebentar aja, Rak. Minum-minum dikit, abis itu langsung pulang. Seenggaknya lo absen muka di sana. Nggak enak, bego, kalau nggak dateng."

"Sebentar aja ya," kata Raka setengah memohon.

Kevin mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

***

Punggung tangan Letta menyeka peluh yang terus terproduksi pada dahinya. Napasnya terengah. Rasa nyeri mulai terasa pada pergelangan kakinya yang terus ia pakai untuk melompat. Tubuhnya kini roboh, terduduk di luar garis three point.

"Nyerah! Gue nyerah!" teriak Letta gusar.

Dengan kesal, gadis itu menendang bola basket hingga bola itu terpental jauh keluar lapangan. Ia mendengus. Rasanya sia-sia saja latihannya hari ini. Sudah satu jam ia berkutat dengan bola jingga itu, namun benda menyebalkan itu tak kunjung menunjukkan sikap bersahabat dengannya. Jangankan masuk, mengenai tiang ring saja tidak.

Letta memeluk kakinya yang kini terlipat. Wajahnya tenggelam di antara kedua lutut. Isak tangisnya terdengar pelan, lalu tak lama tampak tersedu. Entah kenapa rasanya seperti mau kiamat, padahal ini hanyalah ujian praktik biasa. Yang tidak biasa adalah suasananya. Anak satu sekolah pasti akan berbondong-bondong menonton pengambilan nilai di kelasnya, menonton Aldi lebih tepatnya, juga dirinya yang sekarang mulai menjadi bahan perhatian banyak siswi di sekolah yang selalu saja berusaha mencari-cari kesalahannya.

"Hiks... nanti pasti gue malu-maluin deh, huaaaa... pasti diketawain deh! Nggak mau, nggak mau!" kata Letta di tengah isakannya.

Tuk!

Tangisnya mendadak terhenti. Cewek itu mendongak. Mengernyit saat melihat bola yang tadi dibuangnya berbalik mengenai ujung sneakers-nya. Letta menghela napas kasar.

"Argghhhh!!!! Ngapain sih lo balik lagi?" teriak Letta kesal.

"Itu tandanya lo harus latihan lagi, Sayang," seru suara dari arah depan.

Letta menoleh, mendapati Aldi sedang berjalan ke arahnya dengan ransel merah yang disampirkan di sebelah lengannya. Cowok itu tersenyum, senyum yang entah mengapa membuat seluruh beban Letta terangkat ke atas. Hilang.

Letta cepat-cepat menyeka air mata yang masih tertinggal di sekitar matanya. "Katanya mau bimbel?" kata gadis itu menatapnya bingung.

"Emang iya. Tapi udah selesai." Aldi menjawab sekenanya.

Letta memutar bola matanya. Tahu bahwa saat ini sudah pasti Aldi sedang berbohong. Mana mungkin bimbel cuma sejam! Tempat bimbel lo 'kan jauh.

"Udah yuk latihan lagi!" Aldi menggenggam pergelangan tangan Letta, membawa gadis itu semakin mendekat ke ring.

"Dari jarak deket dulu ya," ujar cowok itu lembut.

I'm YoursWhere stories live. Discover now