Kerikil-Kerikil Kecil

7.8K 52 4
                                    

Ravi POV

Aku merasa sedikit grogi duduk berdua dengannya di atas pelaminan, tepatnya sih, selalu merasa nervous berada di dekatnya. Bagiku, istriku ini seperti soal ujian, dan aku belum belajar sama sekali untuk menjawab soal tersebut, tapi mau tidak mau harus dikerjakan.

Meski ruangan ini ber-AC tapi ternyata tidak mampu membendung keringat dingin yang pelan-pelan keluar dari pori-pori kulitku. Mungkin aku terlalu takut menghadapi soal ujianku ini. Fikiranku juga mulai menerka-nerka, bagaimanakah rupa kami sekarang? Apakah sudah mirip ratu dan raja yang banyak diceriterakan dalam dongeng-dongeng itu? Ah, kurasa aku jauh lebih tampan dari pangeran dari negeri dongeng manapun, dan Rana pasti jauh lebih anggun dari ratu manapun di dunia ini. Setidaknya begitu menurut penilaianku.

Butir-butir keringat ini belum mau berkompromi juga denganku. Mungkin ia ingin eksis juga di hari bersejarah ini dan abadi dalam potongan-potongan gambar yang tak berhenti dijepret oleh fotografer. Blitz kamera itu pasti merekam jelas keringat-keringat ini, dan aku tidak mau ini akan menjadi bahan olok-olokan anak cucuku nanti.

Aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celanaku; sapu tangan yang selalu kubawa bersamaku kemanapun aku pergi, sapu tangan yang sudah lima tahun setia menemani hari-hariku, sapu tangan yang selalu menghapus air mata kesedihanku jika teringat tentangnya yang jauh disana.

Intinya, sapu tangan ini adalah benda yang sangat berharga dan bersejarah bagiku. Mungkin bentuknya sudah buruk dan lusuh, tapi bagiku ia selalu baru dan utuh.

Tapi, aku segera teringat jika ada seseorang yang kini bersanding denganku yang mungkin lebih membutuhkan sapu tangan ini. Pelan aku berbisik kepadanya. Tanpa rasa ragu, aku menyodorkan sapu tangan itu ke tangannya. Untungnya ia segera menerima pemberianku itu.

Untuk beberapa saat kami menerima tamu-tamu yang mengucapkan selamat menikah pada kami berdua. Harapan dan doa mereka menguatkanku untuk terus melangkah membina keluarga kecilku.

Mungkin kami berdua butuh waktu untuk belajar saling menerima, tapi itu tidak akan jadi masalah bagiku. Aku akan menikmati semua prosesnya. Aku tak mau memaksanya untuk segera jatuh cinta padaku. Aku akan sabar menunggunya.

Akan kuhabiskan waktuku hanya bersamanya kini dan nanti. Tak ada lagi tempat di antara kami untuk seseorang dari masa lalu. Biarlah ia tertinggal dalam puing-puing kenangan.

Lalu, kenapa Rana tiba-tiba diam ketika suara laki-laki yang terdengar berat itu menyapanya. Ada apa dengannya? Barusan ia membalas semua ucapan selamat para tamu dengan hangat.

Rana tetap diam membisu sampai orang yang memberinya ucapan selamat itu beralih ke depanku. Tangannya yang besar dan kokoh menggenggam tangan kananku dengan erat, sedangkan tangan kirinya diletakkan di pundakku. Ia berbicara dengan pelan dan lirih. Sepertinya ia sedang ditekan perasaan sedih yang teramat dalam. "Selamat atas pernikahan kalian."

"Terima kasih." Balasku sehangat mungkin.

Setelah hampir setengah jam kami berdiri menyambut tamu-tamu, akhirnya sekarang kami bisa kembali duduk di singgasana kami yang istimewa. Pegal dan capek, itu pasti. "Kamu capek, Sayang?" Tanyaku lembut pada istriku, namun ia hanya diam membisu.

Sejak kedatangan laki-laki itu sikap Rana jadi berubah. Aku bisa merasakan ketidaknyamanannya bersamaku.

"Na, kamu baik-baik saja, kan? Apa mau minum dulu?" Tawarku dengan lembut. "Kalau kamu capek lebih baik kita istirahat dulu, oke?" Sambungku.

"Nggak usah, Rav, aku bisa sendiri. Aku duluan ya ke kamar, sekalian mau shalat Ashar juga." Ia menjawabku cepat dan berlalu begitu saja dari hadapanku.

Padahal aku ingin mengatakan kalau aku ingin shalat Ashar bersamanya. Aku menyimak derap langkahnya yang semakin menjauh dan hilang.

"Rav, selamat ya atas pernikahannya. Alhamdulillah, acaranya berjalan lancar dan sukses ya. Oh, iya, kenalkan gue Siska. Sahabatnya Rana." Suara yang hangat dan bersahabat itu memotong lamunku.

Aku menerima salam perkenalannya dengan senyum yang tulus juga. Betapa bahagianya hari-hari Rana memiliki sahabat-sahabat sehangat ini. "Senang bertemu denganmu, Siska. Semoga kita juga bisa berteman baik." Ucapku dengan hangat.

"Siap." Jawab Siska dengan semangat.

"Sis, bisa tunjuk musholla rumah ini dimana ya? Belum shalat Ashar, nih. Kayaknya udah jam 16.30 ya?"

"Yuk! Gue antar." Sahutnya bersemangat.

"He he he... Nggak usah, tunjukin aja rutenya." Ucapku menolak dengan halus.

"Oke, deh. Oh, iya, emangnya kamu masih punya wudhu? Tadi, kan, udah salam-salaman sama banyak orang?" Celetuknya mengingatkan.

"Oh, iya, ya." Sambutku tertawa kecil.

"Kalau gitu gue anterin lo ke kamar Rana aja, disana juga ada kamar mandinya, tapi nanti hati-hati ya. Tadi gue denger dari Memey lo sempat jatuh gitu disana." Cerocosnya membuka aibku.

"Wah, Memey, nih. Langsung share aja beritanya." Balasku tersenyum simpul.

"Ya, biasalah, Rav. Gadis-gadis apa, sih, yang nggak diomongin. Hehehe..." Celetuk Siska. "Ya udah. Yuk! Gue antar ke kamar Rana." Ia kembali mengingatkanku untuk segera wudhu' dan shalat Ashar sebelum hari semakin sore.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang