#20. Imperfect [Kena POV]

75.4K 4.8K 290
                                    

"Alhamdulillah anak mama sudah sadar!" Ibuku langsung memelukku dengan erat. Masih ada sedikit tenagaku untuk membalas pelukan beliau. 

Siang ini kondisi tubuhku sudah agak membaik, meskipun perutku masih terasa perih dan sakit. Tadi sudah dikasih obat pengurang rasa sakit, tapi efeknya hanya bertahan beberapa waktu saja. Sekarang sakitnya kembali, aku harus menahan ini. 

Ibuku tampak repot menyiapkan ini itu, ocehannya hanya kubalas senyum seakan aku mengerti. Padahal tidak ada satu kata pun yang menyangkut di pendengaranku, bukan karena aku tidak bisa mendengar, tapi nyawaku tidak di sini. Pikiranku sekaligus hatiku melayang ke tempat jauh. Menyusuri lorong masa lalu tentang kondisi terakhirku yang masih aku ingat.

Rasa sakit itu, darah itu, rintihan dalam hatiku, jelas aku mengingatnya. 

"Kena? Kamu kenapa, Nak?" Ibuku menepuk-nepuk pipiku sehingga aku tersadar dari lamunan. 

"Sena belum balik, Ma?" tanyaku. Dari tadi aku tidak melihat Sena. Beberapa waktu lalu dia mau ke musala katanya, tapi sampai sekarang belum balik juga.

"Belum, sayang. Kayaknya sih dia nebus obat dulu. Sekarang kamu makan yah," kata beliau sambil membuka makanan yang disediakan pihak rumah sakit. Melihatnya saja aku sudah tidak berselera. Bubur tanpa rasa, sayur tanpa garam, buah-buahan yang itu-itu aja. 

"Kok gak ada sambalnya dah?" tanyaku mengeluh. 

"Ya gak ada lah! Ada-ada aja kamu! Orang sakit suruh makan sambal!" 

Duh, ibuku ini kayak gak tahu aja deh anaknya lagi pengen yang pedas-pedas. Dengan terpaksa, aku pun makan sambil disuapi. Mama tidak keberatan menyuapi anaknya yang sudah bersuami ini. Memangnya kenapa? Baginya, aku tetaplah anak kecilnya, aku tetap diperlakukan sama, dan aku senang akan hal itu. 

Kata Mama, aku tidak sadarkan diri selama hampir empat hari. Hanya itu. Tidak, aku yakin banyak yang terjadi saat aku tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi pada diriku? Tidak ada yang memberitahukannya. Bahkan Sena belum bicara apa-apa. Sena hanya... menangis. 

Malam itu, entah pukul berapa, yang jelas langit gelap dan suasana begitu senyap. Kusaksikan Sena menangis begitu tersedunya sampai aku ikut menitihkan air mata. Kenapa? Sampai sekarang Sena belum membicarakan hal itu. 

Yang baru aku tahu adalah aku menjalankan operasi. Aku tahu, di perutku ini sudah tidak ada janin lagi. Tapi mereka masih menyembunyikan hal yang bahkan mustahil disembunyikan. Itu kan anakku, mana mungkin aku tidak tahu kalau dia... telah tiada. 

"Kamu kenapa, sayang?" Tangan Ibuku sudah mengusap pipiku. Tetes air mata jatuh tanpa permisi. Segera aku menahan sesak di hati sekaligus menahan air mataku. Kuukir senyumku agar dia tidak mengkhawatirkan.

"Gakpapa, Ma. Kena gakpapa. Hehehe," jawabku jauh dari kata benar. 

Mendadak tubuhku dipeluknya. Dia memelukku seakan tahu kalau tidak ada yang baik-baik saja. 

"Mama ngerti. Mama paham. Mama selalu ada di samping kamu, sayang." Diusapnya rambutku dengan halus. Hangat aroma tubuh ibuku seakan bisa menenangkanku walau sesaat. Rasanya ketakutan itu sirna, rasanya aku tidak perlu khawatir karena ada dia yang akan selalu menjagaku. 

"Makasih, Mama. Kena sayang, Mama," kataku disusul tetesan air mata yang mengarus. Aku harus bersyukur pada Tuhan karena telah menjadikanku anaknya. Wanita yang kehadirannya bagai malaikat tanpa sayap. Aku menyayanginya. 

Dia mengusap wajahku seraya menatapku sambil tersenyum lembut. 

"Jangan nangis. Nanti Mama ikut nangis," katanya. Aku langsung terkekeh di tengah air mataku yang terus turun. 

If I Can't Pregnant [TELAH DITERBITKAN!]Where stories live. Discover now