#10. And I Learned [2]

76K 5.5K 649
                                    

Jika saja malam bisa terus seperti ini. Langit tersenyum dengan pendar bintang bertaburan, tidak ada ruang kegelapan yang akan menelusup malam. Tawa Sena dan Pakde terdengar sampai ke atas. Entah bercandaan lelaki macam apa yang membuat mereka terbahak. 

Kami sedang ada di rumah Bude. Aku dan Bude sedang menjahit di lantai dua. Tapi aku berada di balkon, sedang Bude berada di dalam.

"Mbak." Arisa muncul dari balik pintu balkon. Penampilannya jauh lebih segar dari pada yang tadi siang. Rambut ikalnya tergerai setengah basah, dress biru yang membalut tubuhnya, serta binar bahagia yang terpancar dari wajahnya. Dia duduk di sampingku.

"Apa, Ris?" tanyaku menoleh sedikit ke arahnya karena tanganku masih bergerak untuk menjelujur bahan.

"Makasih, ya. Kalo gak ada Mbak, pasti aku udah ngebunuh anak ini." Tangan Arisa mengelus-elus perutnya sendiri. Lega sekali aku mendengarnya, dan tentu hatiku ikut senang. Aku menghentikan aktivitas sebentar, dan merogoh saku untu menunjukkan sesuatu.

"Nih." Aku memperlihatkan sebuah benda yang sama dengan miliknya. Dia meraih benda itu dan megerutkan kening bingung.

"Negatif?" tanyanya.

"Iya, aku selalu menunggu biar lambang strip itu jadi tanda tambah, tapi sampai sekarang belum kesampean." Miris sekali aku menatap testpack itu yang berkali-kali aku cek tapi tidak berubah hasilnya.

"Malah waktu pertama kali aku gunain testpack, aku harap tanda strip yang aku dapat. Eh malah tanda plus. Mungkin kalo Mbak yang dapet itu, bakal jadi anugerah. Tapi itu aku yang dapet, jadinya musibah," ujarnya sambil meletakkan testpack yang ia keluarkan dari saku. Dua testpack dengan bentuk sama tapi beda tanda tergeletak di atas meja.

"Tau gak? Waktu aku megang testpack kamu dan ada tanda positifnya, aku kaget sekaligus nyeri. Kaget karena ternyata kamu hamil. Nyeri karena itu punya kamu, bukan punyaku."

"Coba aja kita bisa tukeran ya, Mbak,"

"Weehh ogah ah aku tukeran ama kamu! Tar aku gak sama Sena! Oh ya, tapi besok aku harus balik ke Jakarta."

"Yahhh kok cepet banget sih.." Arisa menyayangkan.

"Maaf ya, tapi suamiku cuma libur dua hari, hehe." Aku nyengir. "Besok kalo mau aku temenin untuk ngomong ke orang tua kamu sih, kayaknya bisa."

"Gak usah, Mbak. Makasih banyak, aku udah negerpotin Mbak Kena. Besok adalah tugasku dengan Alif. Ada sedikit rasa takut sih, tapi..." Perkataan Arisa yang menggantung membuatku penasaran.

"Tapi?"

"Tapi harus aku hadapin karena itu salahku. Aku akan tanggung jawab. Dan aku yakin Alif juga tanggung jawab." Mata Arisa memandang langit dengan wajah penuh harapan.

"Buat pelajaran ya, Ris. Ini masalah serius, aku marah sama kamu karena berani melakukan perbuatan itu. Jujur aku kecewa. Tapi aku jauh lebih marah kalo kamu gugurin anak kamu itu." Terus terang saja aku melontarkan kalimat barusan. Kecewa sangat ketika keponakanku sendiri adalah pelaku dari pelanggaran norma asusila tersebut.

"Iya, Mbak. Padahal selama ini aku dikasih liat dengan nyata temen-temenku yang nasibnya kayak gini. Banyak yang putus kuliah gara-gara MBA. Aku udah wanti-wanti. Eh malah aku kejerumus juga." Arisa menghela nafas panjang.

"Pergaulan anak sekarang kali ya?" Aku meraba sendiri kira-kira penyebabnya.

"Yap! Di negara kita, angka kelahiran di luar nikah tinggi, dan angka aborsinya gak kalah tinggi. Itu yang tercatat, bagaimana dengan yang tidak tercatat? Masih banyak lagi. Rusak deh generasi bangsa kalo ada beribu anak macam aku." Dia menggeleng-geleng kepala tak habis pikir. Mengucilkan dirinya sendiri sekaligus menyesali secara sadar apa yang telah diperbuatnya adalah kebodohan. Arisa salah satu anak yang berprestasi. Seorang mahasiswa yang mempunyai cita-cita tinggi tapi harus menunda sang mimpi karena terjerumus nafsunya sendiri.

If I Can't Pregnant [TELAH DITERBITKAN!]Where stories live. Discover now