#16. Two Months[Kena POV]

60.7K 4.3K 182
                                    

Ternyata jadi seorang ibu memang tidak mudah. Saat masa kehamilan tidak seindah yang dibayangkan. Terkadang aku merasakan sakit di perutku, lalu berganti mual yang tidak bisa aku tahan. Entah, akhir-akhir ini kondisiku tidak menentu.

"Kamu udah gak mual lagi, Ken?" tanya Sena saat kami ada di ruang makan untuk sarapan pagi.

"Gak kok, lagian itu biasa kali," jawabku sambil meneguk susu.

Ya, kuakui kadang hal itu menganggu. Tapi ada rasa senang tersendiri sehingga aku tidak menjalaninya sebagai beban. Aku senang saat janin yang ada di perutku tumbuh karena sungguh aku bisa merasakan itu. Artinya dia hidup. Dia berkembang!

Akan kutahan sesakit apa pun asalkan janinku tumbuh sampai kulahirkan ia dengan segenap nyawa karena dia harus melihat dunia.

"Ken--ken kamu dengerin aku gak sih?" Sena menyentil pipiku sampai aku tersadar dari lamunan.

"Emang tadi kamu ngomong apa?" tanyaku balik bingung. Tadi Sena ngomong ya??

"Aku tanya kamu mau ke dokter apa enggak, sayang?" Dia mempertegas suaranya dengan pelan sambil menatapku penuh.
Hihihi, aku suka saat Sena menatapku intens. Aku suka hitam bola matanya.

Aku pun menatap Sena balik dengan tak kalah lekat. Ditambah, aku memajukan wajahku agar lebih dekat dengannya.

"Bukannya jawab malah godain aku," jawab Sena sambil memalingkan wajahnya.

"Hehehee... kan kemaren udah ke dokter, kan anak kita udah dua bulan. Kan dia udah tumbuh di perutku. Karena dia udah tumbuh ya pasti perut aku sakit dan mual dong." Aku berdiri untuk duduk di pahanya Sena. Dia melingkarkan tangannya di perutku saat aku sudah duduk dengan posisi menyamping.

"Pulang kerja beliin aku boneka boleh?" pintaku sambil mengalungkan tangan ke lehernya.

"Boneka chaki? Wah susah nyarinya!" ledek Sena.

"Isshh!! Bukan!! Serem amat boneka chaki!" Aku mencubit hidungnya pelan. Dikira aku psikopat apa ngidamnya boneka setan.

"Terus boneka apa?"

"Apa aja. Asal yang empuk ya. Bonekanya harus cewek tapi. Pokoknya aku gak mau yang dari kayu atau plastik, aku maunya dari bahan. Aku gak mau boneka beruang yang segede alaihim, kayak remaja-remaja baru gede zaman sekarang. Cukup boneka itu aja ya." Aku mengakhiri dengan kecupan di pipi Sena.

"Oke oke... bisa diatur. Tunggu aku pulang bawa apa yang kamu mau."

"Emang kamu gak malu ke toko boneka sendirian gitu?"

"Kenapa harus malu?"

"Ya kan gengsi kamu gede."

"Ya buat istri aku apa yang enggak?"

Pipiku langsung merah dibuatnya. Ya ampun, Sena.

"Makasih, sayang." Kupeluk ia erat saking sayangnya. "Yuk berangkat."

"Iyap!"

***
Siang itu sekitar jam sembilan-an, tepatnya jam istirahat, mualku kambuh. Kamar mandi dipenuhi gaung suaraku. 

"Uwekk... uwek..." Rasanya perutku sudah tidak bisa berkompromi lagi.

"Bu Kena. Ibu kenapa, Bu?" Bu Pita berdiri di belakangku sambil mengelus-elus tengkukku dengan minyak kayu putih.

Tanpa menjawabnya aku terus mengeluarkan mual. Setelah agak mereda, aku berkumur-kumur dan mencuci muka.

Bu Pita langsung memberiku handuk.

"Pakai aja, ini belum saya pakai kok," katanya menyadari aku ragu. Tanganku pun menerima handuk itu dan mengelap wajah yang basah. 

"Makasih, Bu." 

If I Can't Pregnant [TELAH DITERBITKAN!]Where stories live. Discover now