#9. And I Learned [1/Kena POV]

80.9K 4.5K 154
                                    

"Jadi dia ndak mau tanggung jawab?!" Suara bariton Pakde Budi menggelegar memenuhi ruangan. Suasana kalut saat ini membuatku sesak dan ikut bingung harus berbuat apa. Gadis yang ada di hadapanku hanya bisa menggeleng lemah dengan isak tangis yang tidak mereda. Arisa Sekar, sepupuku yang sedang dilanda masalah berat.

"Sudah berapa bulan?" tanya Pakde lagi.

"Tiga bulan."

Di ruang tamu rumah Bude ada aku, Sena, Pakde, Bude, dan tentu saja Arisa. Hanya kami berlima, tapi rasanya di sini sesak dan gerah. Bagai ada penghuni lain tak kasat mata yang memadati ruangan.

Tadinya hanya ada aku dan Bude untuk mendengar cerita Arisa, tapi Pakde dan Sena sudah pulang lebih awal. Alhasil, Arisa tidak bisa lagi mengelak untuk bercerita kepada Pakde dan juga suamiku.

"Kamu bisa ceritain detailnya, Ris?" tanyaku perlahan. Arisa mengangguk dan mulai mengatur nafas untuk bercerita.

"Aku pacaran sama dia udah satu tahun. Selama ini dia gak minta macam-macam dan baik banget sama aku. Awalnya kita mah rangkul-rangkulan, itu kan biasa ya. Akhirnya kita ciuman, dan malam itu, aku khilaf dan nyerahin semuanya. Aku nyesel, nyesel banget. Aku takut hamil, aku takut. Aku akhirnya ngomong ke dia kalo aku nyesel udah berbuat kayak gitu. Terus dia paham, dan dia bilang semua bakal baik-baik aja." Arisa menghela nafas dan memberi jeda. "Udah dua bulan, dan aku gakpapa. Menstruasi aku gak telat, dan gak ada tanda-tanda aku hamil. Aku seneng, ternyata emang semua gakpapa. Akhirnya, aku ama dia deket lagi dan kami khilaf lagi. Dia bilang ke aku, kalo emang aku hamil pun, semua bakal baik-baik aja. Aku percaya sama dia, aku terlalu percaya sama dia. Sampai akhirnya aku beneran hamil. Dan ketika aku minta pertanggung jawaban, dia malah..." Arisa menunduk dan punggungnya bergetar lagi.

"Malah?" tanyaku minta lanjutannya.

"Malah dia gak mau tanggung jawab dan bilang akunya yang perempuan murahan, Mbak. Hiks." Tumpah lagi air mata Arisa entah untuk ke berapa kali. Jantungku berhenti mendengarnya. Satu tetes air mata lolos begitu saja dari mataku. Cerita ini bagai pisau tajam yang menyayat hatiku. Kenapa bisa? Kenapa korbannya harus sepupuku sendiri? Ulah pria brengsek yang hanya menanamkan benih tapi tidak ingin bertanggung jawab.

"Ibumu belum tahu masalah ini, Nduk?" tanya Bude Harti pelan-pelan. Arisa menggeleng lemah.

"Jangan laporin Ibu, Bude. Jangan laporin juga ke Bapak. Nanti aku malah dirajam sama mereka. Aku takut, Bude." Arisa memohon kepada Bude Harti dengan linangan air mata. "Aku bingung harus ngadu ke siap selain ke Bude. Aku gak bisa lagi nyembunyiin ini sendirian." Dia juga menatap Pakde yang wajahnya merah menahan emosi.

"Ya kalo orang tuamu ndak tahu. Kamu mau ngapain? Lambat laun mereka juga tahu, Ris." Pakde geleng-geleng kepala melihat Arisa.

Perasaanku sungguh tidak enak jika membayangkan bagaimana kalau orang tua Arisa tahu dan marah besar kepada anaknya ini. Walaupun aku tidak terlalu dekat dengan Arisa, tetap saja dia saudaraku. Dia sedang dalam masalah dan hanya orang-orang di sini yang mengetahui itu.

"Aku gugurin kandungan aku aja kalo gitu."

Semua yang ada di sini tersentak mendengarnya. Pakde, Bude dan aku langsung berdiri saking sakit mendengar ucapan Arisa. Sena memegang tanganku untuk menenangkanku, aku menatap Sena ragu dan dia mengisyaratkanku untuk duduk kembali.

"Istighfar, Risa!" teriak Bude Harti.

"Tak pites ndasmu!" Pakde mengacungkan telunjuknya ke wajah Arisa. Gadis itu hanya bisa memalingkan wajah dan tersenyum sinis.

"Kalo gak kayak gitu aku harus gimana, Bude?! Pakde?! Aku bakal diberhentiin kuliah dan aku bakal kehilangan masa muda aku!" bantah Arisa kekeuh dengan argumennya yang konyol itu. Sungguh, aku ingin membantah perkataan Arisa tapi melihat Bude dan Pakde yang emosi, aku jadi hanya bisa diam karena tidak mau memperkeruh keadaan. Kugenggam tangan Sena erat untuk melampiaskan hati yang bergejolak.

If I Can't Pregnant [TELAH DITERBITKAN!]Where stories live. Discover now