#1 A Hooligan

8.1K 199 2
                                    

Prolog

Setiap detik di dalam benak Elisabeth Cavren berisi pertanyaan-pertanyaan dasar yang tidak kunjung ditemukan jawabannya. Sebagian dirinya memberontak, ingin melarikan diri dari berbagai masalah pelik yang kini dihadapinya. Atau kekangan-kekangan yang tak lain berasal dari dalam keluarganya. Bukan hanya itu, ia merutuk kesal mengingat setiap ucapan yang terlontar dari mulut ayahnya, membanding-bandingkan ia dengan saudara-saudara yang lain, termasuk saudari kembarnya, Cleopatra Cavren.

Bagi Elsie, membanding-bandingkan ia dengan saudari kembarnya adalah suatu kesalahan fatal. Meskipun tidak dipungkiri, kalau kenyataannya Cleo memang lebih unggul, pintar, bisa menjadi anak kebanggaan keluarga Cavren. Tak cukup satu-dua kali Mr. Cavren memberikan petuah pada putrinya, untuk berubah menjadi gadis manis, seperti yang diharapkan olehnya. Acap kali petuah-petuah itu tidak dihiraukan Elsie, justru menganggap sebagai kalimat sambil lalu saja.

"Lihat dirimu. Penampilan seperti apa itu, Elsie!" Mr. Cavren membentak putrinya, seperti hari-hari sebelumnya, bahkan mulai jengah menasehati putrinya agar bertingkah laku baik seperti gadis pada umumnya. "Berapa kali kau mengecewakan aku, membuang kotoran di depan wajahku, huh?!"

Meskipun mendengarkan, Elsie tidak bergeming dan tetap berdiam diri di tempatnya, mengabaikan seruan-seruan dan amarah Mr. Cavren yang sudah di ujung tanduk.

"Aku hanya ingin bebas," balas Elsie perlahan. "Aku ingin keluar, menghirup udara bebas tanpa ada bayang-bayang kemunafikan di dalam rumah ini."

"Siapa yang kaumaksud dengan kemunafikan itu, huh? Aku?" Satu hantaman pada meja kerja terdengar cukup keras, menggema di dalam ruangan tersebut. "Berani kau sekarang. Aku mendidikmu menjadi anak yang baik agar berguna, justru kau membalasku seperti ini? Lihat kakakmu, Nathan! Dia sukses mengelola perusahaanku, sangat mandiri, telaten. Lihat juga saudari kembarmu. Nilainya tidak pernah turun, bahkan dia menjadi salah satu murid teladan di sekolah. Dan coba kau tengok kakakmu, Delvin. Dia menjadi juara turnamen football nasional. Mana prestasimu? Kenapa kau tidak mirip aku?!"

Sudut bibir Elsie tertarik ke atas, membentuk senyuman miring yang khas, pertanda bahwa dia semakin muak berada di ruangan itu. "Mungkin karena aku mirip ibu. Dia selalu jujur, tidak buta akan kekuasaan, juga... tidak munafik."

"Berani kau berbicara seperti itu..." Mr. Cavren menggeram pelan. "Pergi jauh-jauh dari mukaku!"

"Dengan senang hati."

Melenggang perlahan penuh ketukan, Elsie menghembuskan napas pendek sekedar menenangkan dirinya. Ekor matanya melirik ke seantero tempat setelah dia keluar dari ruang kerja Mr. Cavren. Pelayan-pelayan di rumah itu menunduk menyambut kemunculannya. Seperti biasa, Elsie paling malas kalau diperlakukan semanis itu. Dia memang tidak pernah betah berada di dalam rumah. Bahkan untuk sekedar tidur atau bermalam saja enggan.

Di depan pintu rumah besar keluarga Cavren, Cleo menyambar lengan saudari kembarnya, menariknya lebih dekat dan menghujani dengan tatapan lekat.

"Mau kemana lagi kau?" tanya gadis itu, sudah bosan melihat saudari kembarnya keluar masuk rumah tanpa pamit.

Menarik lengannya lagi, Elsie membalas ketus. "Bukan urusanmu." Lantas, melanjutkan langkahnya meninggalkan Cleo yang mematung di tempatnya.

Sungguh, tidak ada gunanya memberikan nasehat pada gadis berkepala batu seperti Elsie. Setiap ucapan baik manis maupun kasar, pasti sudah dienyahkan jauh-jauh. Sebab Elsie hanya mau mendengarkan satu kata, bukan yang lain, yakni 'bebas'.

***

Di ruangan dengan penerangan redup itu, lima orang pria duduk saling melingkari meja bundar yang dipenuhi oleh puntung-puntung rokok serta kertas foto bertebaran. Salah satu di antara mereka berdehem, memandang kawan-kawannya yang sibuk bersama pikiran masing-masing.

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now