Empat Belas ; Kenangan

9 0 0
                                    

Aku beranjak kembali ke tempat asalku, sementara Jean izin untuk melayani beberapa pelanggan istimewa diujung sana. Pria itu terlihat renta, memakai jas lengkap dengan celana layaknya orang kantor pada umumnya. Kini, aku tak lagi memerhatikan. Diriku beralih untuk  menyibukkan diri dengan mendengar musik sembari meminjam selembar kertas untuk menulis atau menggambar apa pun.

Ya, sedari dulu menulis dan menggambar adalah hobiku. Apalagi saat melihat Jean dari jauh yang tersenyum ramah pada para pelanggan, mata dan tanganku tak henti berkoordinasi untuk memandang sekilas, lalu menggambarnya abstrak dalam kertas.

Sesekali aku menoleh kesamping, melihat pantulan wajahku di kaca yang penuh akan butir air hujan. Jemariku beralih mencoret di kaca yang nampak sedikit mengembun. Ku tulis nama ku dan Jean di sertai bentuk cinta di tengahnya. Aku menopang dagu dengan tanganku yang lain, mengukir senyum diam-diam layaknya orang yang baru saja jatuh hati.

Hingga tanpa sadar, rupanya Jean telah kembali dan duduk tepat di sisi kananku bersama sebuah matcha. Aku mengerjap, membuat Jean kebingungan. "Eh, kau kenapa, Misya?"

Aku langsung menggeleng sebagai sebuah jawaban. "Tidak, kaget saja. Tadi kau di sana dan sekarang tiba-tiba kau sudah di sini," kekehku diikuti Jean.

Dia menyodorkan secangkir minuman kopi itu padaku. "Minumlah," titahnya. Aku hanya mengangguk. Sambil merasakan matcha latte itu memasuki rongga tenggorokanku, aku menatap Jean sesekali sembari meniup sedikit demi sedikit kopi panas itu.

"Misya, kau ingat tidak waktu kita hujan-hujanan bersama saat SMA dulu?" Jean membuka obrolan,  membuat memoriku di masa lampau langsung terputar tanpa permisi di kepala.

Di mana Jean dan aku menerjang ribuan rintik hujan yang semakin mengguyur seluruh tubuh, sebab kami tak mendapat tumpangan di angkutan umum. Hingga akhirnya kita berlari, meneduh bersama di bawah pohon beringin. Di saat itu jugalah, Jean menyatakan perasaannya padaku. Jujur aku kesal padanya, kenapa harus menyatakan perasaan di saat yang tidak tepat. Hujan dan di bawah pohon beringin? Menurutku bukannya terlihat romantis, tetapi jatuhnya malah menjadi horor.

Terkadang, Jean itu susah sekali ditebak jalan pikirannya. Selalu ada niat terselubung untuk mengambil setiap kesempatan yang ada, tetapi meskipun terlihat sedikit aneh, itulah Jean. Lelaki yang kucintai dengan segenap rasa, meski kenyataan pahitnya aku menolak sebab belum merasa siap untuk memulai hubungan saat itu.

"Misya, hey." Jean menggertak, membuatku mengerjap sejenak. "Kau ini kenapa malah melamun?"

"Tidak. Hanya teringat saat kau menembakku di bawah pohon beringin."

Jean terdiam sejenak, seakan mengingat, lalu tak berapa lama terbahak. "Astaga, Sya. Kau masih ingat? Itu sangat romantis bukan?" tanyaya masih diselingi tawa seakan meledekku.

"Romantis dari mananya, ha? Pohon beringin itu menyeramkan. Bayangkan saja tiba-tiba ada bayangan putih berdiri di belakangmu bagaimana? Apalagi waktu itu langit gelap sekali."

"Iya, maafkan aku. Aku yang salah, Sya. Seharusnya aku menyatakan perasaanku saat kita di pemakaman Hani."

Aku melirik ke arahnya, mengangkat salah satu alisku. "Hani?"

Jean hanya mengangguk. Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat. "Oh! Penggemar fanatikmu itu?"

Lagi, Jean mengangguk diiringi kekehan tawa. Aku mencubit lengannya, Jean meringis kesakitan. "Ampun!"

"Kau jangan seperti itu, Je. Dia sudah tiada."

Lelaki di hadapanku itu menunduk sambil menyatukan kedua tangannya. "Maaf," ujarnya dengan bibir yang dilengkungkan.

Aku hanya mengangguk. Kami kemudian lanjut bercerita panjang lebar tentang kenangan indah di masa sekolah kami. Tentang Jean yang gundul karena terkena poin sekolah, tidak memotong rambutnya yang gondrong.

Di lain sisi ada diriku yang dihukum untuk duduk sendirian di lorong kelas, sebab lupa membawa buku tugas hingga akhirnya sedikit kejadian romantis dimulai dari sana. Di mana Jean berbohong tidak mengerjakan tugas demi bisa menemaniku dihukum. Dari situlah aku menyebutnya sebagai laki-laki aneh.

Mengulas kembali kenangan lama memang membuat senyumku merekah, tetapi dari sanalah juga lukaku tercipta. Luka dari Sean yang bahkan tak pernah kurasa bisa sehebat itu rasa perihnya. Saat dia secara terang-terangan berdua bersama Sashee di taman sekolah, berfoto dengan caption romantis selayaknya pasangan, yang juga diunggah oleh Sashee hari itu membuat hatiku remuk. Tidak sekali dua kali aku melihatnya, bahkan aku masih bisa memaafkannya kala itu. Namun, tidak untuk ketiga kalinya.

Air mataku jatuh tanpa kusadari, membuat diriku sesegera mungkin mengusapnya kasar dengan kedua tangan. Meskipun hubunganku belum berlangsung lama dengan Sean, jujur, hatiku teramat perih jika mengulas lagi kisah lama itu.

Jean menggenggam jemariku. Menyadarkan ku jika aku sudah tak berada di masa lalu. Dia menatapku teduh dengan senyum simpulnya yang menimbulkan lesung di pipi. "Maaf, ya, Misya. Kau jadi teringat kenangan buruk itu."

"Aku tahu meskipun kau tidak mengatakannya. Kau ingat Sean, kan?"

Pupilku melebar dan jantungku berhenti sepersekian detik. Setelahnya aku mengerjap karena tebakan Jean tak pernah meleset. Kala itu memang Jean juga sudah tahu jika Sean bermain di belakangku, tetapi dia memilih diam karena tidak mau terlalu ikut campur. Jean juga yang selalu ada di sisiku juga menyemangatiku setiap harinya.

"Misya...," panggilnya lirih. "Sudah, jangan dipikirkan, ya? Sekarang, kan, ada Jean Narengga yang selalu di sisimu. Jadi, ingat aku saja jangan yang lain," sambungnya sambil terus mengusap jemari dan punggung tanganku dengan pelan.

Bulir air bening di pelupuk mataku kembali memburamkan pandanganku. Sedetik kemudian, air mata itu tak lagi mampu ku tahan. Kubiarkan menetes deras membasahi pipiku. Tangan lelaki di hadapanku itu dengan sigapnya beralih untuk mengusap perlahan tetesan air mata ku bersama kedua tangannya.

"Jangan menangis, kumohon. Aku paling tidak bisa melihatmu menangis, Misya." Jean bertutur lembut masih dengan gerakan dan posisi yang sama.

Aku meraih tangannya yang tak henti mengusap bulir air mata di wajahku, lalu menggenggamnya erat. Dengan tatapan teduh serta seutas senyuman yang kuberi, aku berkata padanya, "Terima kasih, ya, sudah menjadi rumahku, Jean Narengga."

"Sudah seharusnya, Misya. Aku juga ingin berterima kasih karena kau telah menjadikanku sebagai rumah tempatmu meluapkan segala resah dan kebahagiaan."

"Mari kita rayakan bersama atas segala rasa sakit dan kegembiraan yang pernah terjadi dalam hidup kita. Semoga kau panjang umur, agar selalu berada di sampingku pada setiap keadaan, Misya," sambungnya masih dengan tatapan dan posisi yang sama. Aku hanya mengangguk sembari merekahkan senyuman di sana.

Begitupula Jean yang masih menatapku dengan tenang. Di tengah sekumpulan orang yang bercanda tawa bersama, aku hanya terfokus pada suara Jean. Juga diantara dinginnya suasana selepas hujan, aku mampu merasakan kehangatan selagi di sisi Jean.

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now