Satu ; Pertemuan tak Sengaja

10 4 0
                                    

Semburat senja membinarkan mataku. Hari ini sangat melelahkan. Banyak sekali orang-orang yang membuatku merasa jengkel. Mulai dari permintaan customer yang aneh, belum lagi janji yang sudah lama ku buat dibatalkan secara sepihak oleh dosen penguji . Astaga, aku benar-benar tidak beruntung hari ini.

Langkahku mematri jalanan yang terlihat basah akibat hujan beberapa jam lalu. Terlintas di benakku, mungkin sebuah kedai kopi menyenangkan untuk dikunjungi sore ini, karena suasananya yang kurasa cukup bisa menyejukkan pikiran.

Pandanganku mengedar ke sekeliling sembari berjalan. Tanpa kuduga, dari kejauhan aku melihat sosok yang terlihat tak asing di mataku. Aku terdiam. Memicingkan mataku kembali. "Astaga, iya! Itu benar Jean!"

Melihat sosok yang pernah ku kagumi sejak lima tahun lamanya membuat diriku antusias untuk segera menemuinya. Entah mengapa, perasaan ini nyata belum hilang meski sebelumnya aku sudah menjalin hubungan dengan orang baru. Jean memang berbeda, laki-laki itu sangat menarik perhatianku. Sungguh.

Diriku menerobos kumpulan orang-orang yang tengah mengambil foto bersama Jean. Aku tak mengerti, entah sejak kapan anak ini berlagak layaknya seorang artis? Ah, tidak penting lah. Langkahku tak berhenti membelah kerumunan hingga belum sempat sampai pada Jean, kakiku lebih dulu tersandung oleh gaun milik seseorang.

"Eh, astaga! Maaf aku tidak sengaja," ucap perempuan tersebut yang juga berusaha menolongku.

Tatapan dan mulutku sama-sama terbuka lebar saat aku mulai bangkit dan menoleh ke arahnya. Dia bergaun merah panjang dengan rambut yang digelung rapi. Penampilannya sangat elegan.

"Sashee?"

"Misya?"

Sashee dan aku berhasil membuat semua orang mengalihkan atensinya pada kami. Aku merasa terkejut sekaligus bingung, karena sejak kapan Sashee dekat bersama Jean? Aku terus menatap matanya hingga Jean tiba membuyarkan lamunanku.

"Eh, Misya?"

Aku membalik badan. Bergilir menatap Jean dan mengulurkan tangan. "Hi, Je."

Dia membalas uluran tanganku. "Hi, Misya. Kau sedang apa di sini?"

"Ah, tidak. Tadi aku ingin mengunjungi sebuah kafe. Tapi tanpa sengaja melihat mu dari kejauhan di depan kafe ini sedang dikerumuni banyak orang."

"Iya. Aku memang sedang membuka outlet baru, Sya. Mari aku antar duduk di sana," ujarnya menunjuk ke dalam ruangan kafe yang baru saja ia resmikan.

Hal itu tentu membuat semua orang menatap aneh ke arahku. Seperti tatapan, interogasi. Lagi-lagi, Jean selalu melakukan hal tak terduga dalam bayanganku. Laki-laki ini memang terkadang sedikit menyebalkan sejak dulu.

Jean menarik lenganku tanpa aba membuat Sashee juga yang lain mengernyitkan kening. "Jean kau apa apaan!" Aku melepaskan genggamannya.

Kami saling tatap, hingga akhirnya Jean melayangkan tangan dari kanan ke kiri. "Misya. Kau kenapa melamun?"

Mataku mengerjap beberapa kali. Astaga, ternyata aku dari tadi melamun, batinku menggerutuki diri.

"Maaf, maaf Jean. Aku-aku tidak papa. Tadi-"

"Sudah, sudah, tidak papa. Aku ke sana dulu, ya. Menemui yang lain."

"Jean, ajak Sashee," pinta Wena dari jauh—mama Jean.

Sekarang, giliranku yang mengerutkan dahi kebingungan. Sepertinya Sashee dan Jean sekarang ini lebih dekat? Tetapi aku tak mengerti mengapa Jean tak menggubris perintah mamanya. Apa dia terpaksa? Apa dia tidak senang?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terputar di benakku. Di sisi lain, Sashee berjalan mendahuluiku sambil menundukkan pandangan. Aku membiarkannya, sudah tak peduli.

Kini, manik mataku melihat ke sekeliling kafe milik Jean yang katanya baru itu. Dari balik kaca, aku melihat interiornya yang semi minimalis. Ada beberapa tumbuhan hijau berjalar yang semakin menambah nilai keindahan dari kafe ini. Oh, Tuhan. Kafe ini sangat menyejukkan penglihatanku. Nuansa putih juga sedikit di beberapa bagian membuatku mungkin akan berlama di sini.

Sebenarnya aku ingin turut mengekori Jean yang berjalan masuk ke dalam kafe. Tapi kerumunan orang-orang membuatku jengah lebih dulu. Lebih tepatnya, aku takut kembali tersandung seperti saat menerobos kerumunan banyak orang tadi. Rasanya melelahkan.

Akhirnya aku memutuskan untuk melihat dari luar saja sembari mengamati Jean yang diserbu beberapa orang dengan kamera dan bulpoin.

Di halaman belakang kafe, aku melihat ada sebuah taman. Kakiku menuntun untuk menebak ada apa di sana. Tepat saat aku akan melangkah maju dan menginjakkan kaki, terdapat sebuah ayunan gantung dengan bahan rotan yang juga berwarna putih.

"Oh, God! Jean membuat kafe seindah ini!? Sungguh tak percaya," monologku takjub.

"Misya!" panggil seseorang dari kejauhan.

Spontan aku memutar tubuh. Jean berlari kecil ke arahku. "Iya, Je?"

"Bagaimana kafe ku menurutmu? Bagus bukan?" tanyanya menyeringai.

"Lumayan." Ucapanku yang seperti ini tentu membuat Jean malas. Benar saja, dia langsung melengos ke arahku.

Aku terkekeh, menggoda Jean sedari kita berada di bangku SMA memanglah hobi terpendamku. Aku tak tahu, lucu saja rasanya melihat wajah Jean yang mendengus sebal. Laki-laki ini dari dulu tidak berubah, perfeksionis.

"Apa yang harus kuubah agar terlihat lebih bagus lagi?"

"Astaga Jean. Aku bercanda," jawabku terkekeh membuat Jean menghela napas malas.

Dia benar-benar tak merespon. Kelihatannya memang sangat marah. Diriku masih tak berhenti terkekeh. Jean sangat lucu jika seperti ini.

"Ayolah, jangan marah begitu. Kau tahu, kan, bagaimana sifatku sedari dulu," bisikku membuat Jean sedikit melirik ke arahku.

Saat diriku hendak kembali membujuk Jean, Sashee lebih dulu memanggilnya. "Jean, dipanggil Mama."

Ucapan Sashee terdengar jelas seakan tak ingin aku berlama dengan Jean. Ah, perempuan ini selalu saja begitu. Apa dia tidak sadar apa yang sudah dilakukannya dulu padaku? Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas, membiarkan Jean pergi sebelum aku membuatnya tersenyum.

Merasa tak ada hal lain yang bisa kulakukan setelahnya, terlebih juga merasa sedikit canggung dan bersalah karena sudah membuat Jean kesal karena candaanku. Diriku pun pergi menjauh, membelah sedikit kerumunan yang mulai hilang.

Sebelum itu, aku memfoto kafe Jean untuk kuabadikan dalam catatan fotografiku. Iya, aku memang suka memotret hal yang menurutku indah dan menarik perhatian.

Ketika langkah kakiku mulai sedikit menjauh dari kafe Jean. Seseorang memegang pundakku dari belakang. "Tunggu Misya."

Aku membalik badan. "Jean? Ada apa?"

"Kau membututiku?"

Jean menggeleng cepat. "Tidak. Aku mau meminta sesuatu padamu, boleh?" tanyanya sembari menggaruk tengkuk seperti orang yang canggung.

"Jean, kau ini seperti dengan siapa saja. Aku masih temanmu, kan? Mintalah, tidak usah canggung begitu."

"Eh, terlihat, ya?" tanya Jean kembali. Aku hanya memberi satu anggukan.

Salah satu alisku terangkat untuk memberi Jean isyarat apa yang ingin dia minta. Jean yang mengerti langsung menyodorkan secarik kertas juga bulpoin.

"Apa ini? Kau mau meminta tanda tanganku? Aku bukan artis, Je."

"Ash... tidak seperti itu. Aku minta ...." Jean menjeda kalimatnya, membuat rasa keingintahuanku memuncak.

Aku berkacak pinggang dengan ekspresi menginterogasi terus-menerus. Jean yang merasa tersudut akhirnya mengungkapkan ucapannya. "Tolong tulis nomor poselmu di sini."

"Nomormu hilang sedari lima bulan lalu dan aku terus mencarinya, Sya."


~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now