Sepuluh ; Dresscode

8 4 0
                                    

Pukul lima sore, aku telah selesai dengan pekerjaan paruh waktu. Kini, gantian Dio yang akan menggantikannya bersama Lia. Sebenarnya kita memiliki enam karyawan, tetapi dua lainnya izin. Jadi tinggal aku, Mas Bas, Dio dan Lia yang bekerja hari ini. Maklum, setiap weekdays seperti ini, kafe sedikit sepi tidak seperti weekend. Jadi kami bertiga setidaknya masih bisa meng-handle.

Jujur, rasa sakit yang semalam kurasa pun seakan hilang di telan lelah. Tak lagi kupedulikan rasa ini. Namanya juga hidup, tidak ada yang gratis bukan? Semua hidup butuh perjuangan untuk mendapatkan apa yang kita mau. Aku selalu menerapkan prinsip itu pada diriku agar tidak memupuk rasa malas. Sebab sejatinya hidup adalah perjuangan untuk bertahan.

Sekarang, selepas aku membereskan semua barangku dan keluar dari kafe. Diriku melambai tangan, berpamitan pada Dio dan Lia sembari memberi mereka sedikit semangat. Setelahnya, aku mengambil ponsel untuk memesan sebuah ojol pada aplikasi hijau. Namun, sebelum aku mendapat seorang driver, sebuah mobil  tiba-tiba berhenti tepat di depanku.

"Jean?"

"Naik," titahnya menatap tajam.

Helaan napas kukeluarkan. Aku mengikuti perintahnya. Kumasukkan kakiku ke mobil, lalu menyamankan posisi di sana. Jean langsung menancapkan gasnya bahkan sebelum aku menggunakan seat belt. Dari sorot matanya terlihat jika Jean sedang marah.

"Kenapa, Je?"

Aku bertanya untuk memecah keheningan di antara kami. Namun, Jean tak sedikit pun menggubris. Diriku pun hanya menarik napas dalam dan membuangnya perlahan sembari menikmatinya udara AC yang berembus semilir menyapu leher jenjangku yang penuh dengan keringat. Terasa begitu menyejukkan.

Bukannya menjawab. Jean malah balik bertanya padaku. "Kenapa kau tidak bilang jika hari ini kau bekerja? Katanya cuti? Hm? Kau membohongiku?"

Jean terus melontarkan pertanyaan padaku layaknya detektif yang sedang mencari informasi tentang pelaku. Dia melirik ke arahku. "Jawab, Misya."

"Aku tidak boleh cuti mendadak, hanya boleh tukar jam. Itu pun hari ini aku beruntung karena Dio salah satu teman kerjaku juga ingin menukar jam. Kebetulan. Jadi, sepulang kampus aku langsung kerja paruh waktu. Setelahnya pulang dan mengistirahatkan sejenak tubuhku sebelum makan malam bersama mu juga mama," jelasku panjang lebar yang hanya mendapat satu dehaman dari Jean.

Raut wajah Jean yang tadinya tegang seakan ingin memangsa siapa pun orang yang berada di dekatnya, berubah menjadi tenang. Bahkan ketenangan di setiap sudut wajah Jean layaknya air yang mengalir di hilir sungai.

Tangan Jean dengan sengaja tiba-tiba mengusap puncak kepalaku. "Aku bangga padamu, Misya. Aku tidak salah memilihmu menjadi calon isteri. Kau sangat pekerja keras, seperti ku," ucapnya dengan kekehan yang seakan membanggakan diri.

"Kau sendiri kenapa bisa tau aku di depan situ? Aku, kan, belum memberitahumu di mana tempatku bekerja. Kau membututiku, ya?"

Dengan cepat ia menggeleng. "Tidak. Kebetulan aku melihatmu dari jauh. Aku hampiri saja."

"Hari ini kita makan malam bersama, tapi apa kau tidak lelah?"

"Apa kau sudah sembuh, Je? Sungguhan? Badanmu baru tadi pagi panas. Memang bisa sembuh secepat ini?"

Seakan tahu aku mencoba mengelabuhinya dengan berbalik bertanya. Jean menarik rem gasnya untuk memberhentikan dan memandangku tegas. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan, Sayang."

Aku terperanjat, mengerjap. Sementara Jean menyeringai, lalu menancapkan kembali gasnya sembari menatap lurus ke depan. "Aku belum sembuh. Siapa bilang aku sudah sembuh? Aku cuma bilang kalau badanku sedikit lebih baik. Belum sembuh sepenuhnya."

××××

Selepas Jean mengantarku sampai pada halaman depan rumah ibu kosku. Dia mengajakku ke rumah Bu kos karena dirinya menitipkan kunci pintu kamarku saat aku meninggalkannya tadi pagi. Rumah Bu kos terlihat terbuka lebar, membuatku dan Jean yakin jika beliau ada di dalam sana.

"Bu, permisi."

"Iya. Sebentar," sahutnya dari dalam.

Dengan rambut cepolan dan daster yang sedikit berantakan seperti setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Ibu Indri menghampiri kami dengan tergesa.

"Eh, cah ngganteng. Ambil kunci, ya?"

Jean mengangguk seraya tersenyum tipis. Tanpa menjawab, Ibu Indri sudah tau. Dia langsung berlari kebelakang mengambil kunci kamarku.

"Ini," ucapnya memberikan kunci itu pada Jean.

"Misya, sering-sering ajak pacarmu ini kemari. Nanti kita masak bersama sama yang lain, ya?"

"Boleh, Bu?" Jean menyela.

"Loh, ya, boleh, toh. Kita di sini semuanya seperti keluarga."

Laki-laki di sampingku itu menyenggol lenganku sembari menyeringai. Seakan memberi perintah untuk menuruti Bu Indri. Aku hanya melipat tangan melongos ke arah Jean. Lalu, selepas itu mencoba untuk mengangkat senyum tatkala memandang wajah antusias dari Ibu Indri.

Setelah mengambil kunci itu, Jean mengekoriku untuk masuk. Katanya, ingin melihatku membuka hadiah darinya. Aku mengiyakan saja.

Setibanya di kos, aku langsung terduduk dan menselonjorkan kakiku di bawah lantai, sedikit melakukan peregangan. Badanku rasanya lebih baik ternyata setelah melakukan cukup banyak kegiatan hari ini.

Sementara itu di sisi lain, Jean mengambil hadiah tersebut dan menyerahkannya padaaku. "Buka," titahnya.

Helaan napas malas karena lelah lebih dulu keluar sebelum akhirnya aku menuruti perintahnya. Mataku melebar tatkala melihat sebuah silk dress selutut, menutupi dada, dengan warna putih yang terbalut rapi dalam sebuah kotak berwarna hitam, berpita emas.

Tatapanku kini beralih pada Jean yang tengah tersenyum menatapku. "Jean?"

"Suka?"

"Ini ... cantik sekali!" Mataku berbinar, tak percaya jika Jean tahu ini salah satu seleraku. "Dresscode-nya warna hitam, Je?"

"Iya, saat kita makan malam kau harus pakai ini, ya. Aku yakin Misyaku akan terlihat sangat cantik malam ini. Aku akan membantumu mendapatkan hati mama, Sya."

Kalimat terakhir Jean membuatku semakin percaya diri meski sejujurnya perasaanku masih dibalut dengan sedikit keraguan. Setidaknya, usaha Jean demi mengenalkanku lebih baik ke mama nya menjadi saksi perjuangan cinta kami.

Jean berpamitan untuk pergi karena harus menyiapkan dinner untuk kami. Namun sebelum itu, dia mengecup keningku dengan tatapan tulus seakan mengutarakan lewat matanya jika ia sangat mencintaiku, Misya, gadis yang ada di hadapannya saat ini.

Sepulangnya Jean dari kos. Aku langsung bergegas mencoba memahami dress yang Jean beri. Sambil menatap cermin, aku memutar badanku ke samping kanan dan kiri. Sangat pas, sesuai dengan bentuk tubuhku. Jean rupanya pintar dalam memilih baju.

Tanganku mulai menghias, bergeliat merapikan rambut untuk mencocokkan gaya rambut apa yang serasi dalam diriku ketika dipadukan dengan dress pemberian milik Jean.  Selama beberapa menit bergulat dengan alat make up, juga catokan rambut.

Aku menyerah, memilih menggelung rambutku juga ditambah sedikit japitan emas di sekitar area belakang rambut untuk menambah kesan elegan pada diriku. Untungnya aku masih memiliki sepatu hitam yang cocok untuk kugunakan nanti malam.

Sungguh aku benar-benar nervous, tak sanggup membayangkan bagaimana nanti jika mama Jean memberiku pertanyaan yang membuat bingung hingga tak dapat kujawab. Atau mungkin tak suka dengan penampilan ku. Aku mondar-mandir ke sana dan kemari sebelum akhirnya menarik napas panjang dan mencoba menghapus pikiran buruk dalam kepalaku.

"Tenang Misya ... kau pasti bisa!" monologku.

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now