Lima ; Janji Jean

8 4 0
                                    

Keempat polisi di sana datang tepat saat Sean akan mengarahkan sebuah pistol pada Jean. Aku terbelalak tak percaya, entah sejak kapan Sean menjadi kriminal seperti ini. Beraninya dia mengangkat senjata pada Jean. Namun, untungnya polisi dengan sergap menembakkan peluru ke atas langit untuk memberi tanda jika Sean harus menyerah.

"Turunkan senjata!"

Sean mengangkat tangan dan meletakkan pistolnya. Polisi berlari ke arah mereka dan memborgol Sean dengan cepat. Sementara aku berlari ke arah Jean dan menghambur dalam pelukannya.

"Pak, terima kasih sudah menolong kami."

"Sama-sama, Pak. Saya minta tolong untuk kalian nanti datang ke kantor polisi memberi penjelasan dan kronologi sebenarnya," pungkasnya sebelum pergi membawa Sean dari hadapan ku dan Jean.

"Kau akan kembali bersamaku, Misya. Ingat janjiku ini," ujar Sean penuh penekanan serta menatap tajam ke arahku sebelum akhirnya dia benar-benar pergi.

Aku menyembunyikan wajahku di balik dada Jean. Air mataku tak kembali turun dengan derasnya. Hari ini Sean kembali membuatku trauma. Diriku benar-benar ketakutan, dan Jean pun turut merasakan itu.

"Tenang Misya ... tenang. Kau sudah aman." Jean terus mengusap punggungku yang gemetar.

"Jean aku takut. Aku takut sekali," ucapku yang masih terisak dalam pelukannya.

"Aku di sini, Misya. Aku bersamamu dan tidak akan pergi dari mu. Kumohon kuatlah, Misya."

Jean terus mengusap punggung juga puncak kepalaku untuk sedikit menenangkan. Aku merasa jika ia beberapa kali menciumi puncak kepalaku. Hanya sedikit yang bisa kurasakan, karena jantungku berdegup kencang sebab perilaku Sean tadi.

Seluruh tubuhku lemas, kepalaku pening dan aku tak mampu lagi untuk berdiri. Mataku mendadak hitam, juga pendengaran tentang Jean beberapa kali menyebut namaku yang terdengar samar-samar.

"Misya bangunlah. Misya aku menyayangimu."

××××

Mataku seketika menyipit melihat sekeliling ku yang nampak asing. Pandanganku mengedar ke penjuru ruangan. "Rumah sakit?"

Tak kutemukan siapa pun di sini termasuk, Jean. Dimana laki-laki itu? Terakhir aku ingat betul dia menolongku, tetapi setelahnya aku tak mengingat apa pun lagi.

Kepala ku masih pening. Aku berusaha membangunkan diri. Namun, otakku serasa berputar. Pusing sekali. Aku kembali menidurkan posisiku seraya memegangi kepala.

Ketika aku berusaha menggapai sebuah tombol di bawah brankar untuk memanggil perawat, pintu terbuka. Memperlihatkan seseorang yang sedari tadi kucari keberadaannya. Jean Narengga. Sosok itu telah berganti pakaian entah sejak kapan.

Dengan outfit layaknya olahraga; kaos hitam polos dipadukan bersama celana training berwarna abu-abu semakin menambah kesan ketampanannya. Aku lebih suka Jean dengan penampilan rumahan seperti ini, terlihat, menarik.

"Jean kau dari mana saja? Aku pusing sekali."

"Hei, maaf. Aku tadi membelikan ini untukmu." Jean menyerahkan sebotol besar air mineral.

Kepalaku benar-benar berdenyut. Mungkin kurasa karena aku terlalu banyak menangis hari ini. Bagaimana tidak? Semua ini gara-gara Sean. Aku sampai harus berada di tempat yang tak pernah aku sukai semenjak kecil.

"Kau harus dirawat selama beberapa hari, Sya. Nanti aku dan Geena akan bergantian menjagamu di sini."

"Astaga, aku selalu merepotkanmu, Jean, aku malu. Tidak usahlah, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Kumohon pulang saja."

Coffee Shop Where stories live. Discover now