Tiga ; Kabar Buruk

8 4 0
                                    

Kemarin adalah hari paling menggembirakan setelah sekian lama aku akhirnya bertemu kembali dengan Jean. Dia mengantarku pulang dengan baik. Mama pun turut mengobrol sebentar dengan Jean. Kami memang dekat semasa SMA, tetapi kita kehilangan komunikasi semenjak lulus hingga beberapa bulan lamanya.

Sore ini. Selepas kuliah dan kerja paruh waktu, aku berniat mengunjungi Jean untuk berkeluh kesah dan meminta kopi buatannya kemarin. Aku rasa hal itu bisa sedikit menentramkan hatiku.

Aku berjalan dari kampus menuju kafe Jean beberapa menit lamanya. Hingga saat sampai di sana, tanganku mulai mendorong pintu masuk kafe itu. Pandangan mataku mengedar. Tak kutemukan pria itu di dalam sini. Aku beralih menuju kasir. Geena yang bertugas sebagai penjaga kasir menatapku penuh khawatir seakan bertanya 'kenapa?' padaku.

Menggeleng adalah salah satu jawaban yang tepat untuk ku keluarkan saat ini, seraya melengkungkan jempol dan jari telunjuk membentuk kalimat 'Ok' karena aku sedang malas menjelaskan sesuatu. Geena hanya mengangguk paham akan maksudku.

Kakiku melangkah menuju kursi yang berada di pojok kafe tersebut. Geena datang membawa sebuah menu. Dia menuliskan sesuatu dalam kertas yang ia bawa, karena dirinya merupakan seorang tunarungu juga tunawicara yang kemana pun harus membawa alat tulis dan kertas karena tidak semua orang paham dengan bahasa isyarat yang ia gunakan.

Dia bertanya apakah aku sedang mencari Jean? Membaca nama itu, entah mengapa membuat sudut bibirku terangkat. Aku merasa tersipu walau hanya sekadar tulisan. Hatiku berdesir. Apa mungkin aku jatuh hati padanya? Ah, tidak. Jean teman baikku. Rasanya hanya pikiranku saja.

Geena melambaikan tangan membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, seketika beralih mengambil kertas miliknya untuk menjawab pertanyaannya. Setelahnya aku juga bertanya, dimanakah Jean saat ini?

Jujur saja, bahasa isyarat yang ku pelajari masih sangat minim, aku belum bisa se ahli Jean, jadi aku tidak bisa menggunakan itu pada Geena atau siapa pun karyawan yang ada di sini, karena takutnya jika gerakanku ada yang keliru hingga membuat beberapa dari mereka salah tangkap dengan maksudku.

Setelah membaca tulisanku. Gadis di hadapanku itu turut menyunggingkan senyum. Sesaat kemudian, ia kembali menorehkan tulisannya di sana. Dia bilang jika Jean sedang keluar tak tahu di mana.

Kekecewaan sedikit menyelimuti diriku. Aku menghela napas seraya memanyunkan bibir. Geena yang melihat turut meminta maaf padaku dengan melingkarkan jari telunjuk dan jempol, lalu mematukkan ke sedikit bawah sudut bibirnya beberapa kali seraya menggerakkan bibir mengucap kata 'maaf'.

Spontan, kepalaku menggeleng cepat. Seakan memberinya pengertian jika itu bukanlah kesalahannya. Aku mengangkat telapak tangan sekilas untuk menyuruhnya berhenti meminta maaf selagi diriku kembali menulis di sana. Aku berkata padanya dalam tulisan tersebut, agar Geena melanjutkan pekerjaannya saja karena aku akan menunggu Jean sampai datang.

Kulebarkan senyumku ke arah gadis itu. Aku menyuruhnya pergi dengan bahasa yang sedikit kupahami agar dia bisa melayani pembeli yang lain. Geena menurut. Ia mulai melenggang dari hadapanku.

Kini, sembari menunggu Jean, aku menulis di sebuah buku harian karena teringat seseorang yang mengikatku dengan janji manisnya beberapa bulan lalu. Sebenarnya, mengingat pun malas bagiku, tetapi entah mengapa hatiku tiba-tiba merasa rindu. Jemariku pun mulai menorehkan beberapa tulisan di sana sembari menunggu Jean datang.

Sementara fokus menulis, perhatianku teralihkan pada seseorang yang mengejutkanku tanpa aba dengan menjulurkan tangan dari belakang bahuku. Secara spontan aku memutar badan untuk menatap siapa yang baru saja berada di balik punggungku.

"Jean!?" ucapku dengan mata berbinar.

Pria itu tersenyum lebar memperlihatkan kedua lesung pipinya, ditambah matanya yang turut melengkung tiap kali Jean tersenyum. Oh, sangat manis. Aku pun beranjak dan mempersilakan Jean duduk di sampingku.

Coffee Shop Where stories live. Discover now