Sebelas ; Kejutan

6 4 0
                                    

Bintang berpijar memancarkan terang cahayanya beriringan dengan sang rembulan. Langit terasa begitu menyejukkan malam ini. Anginnya berembus membelai rambutku yang bergelombang saat akan ku gelung.

Kira-kira aku hampir menghabiskan waktu sekitar setengah jam hanya untuk bersolek demi pertemuan makan malam bersama Jean dan mamanya kala ini. Senyumku berulang kali tersungging membayangkan betapa senangnya bisa berkumpul dengan Jean dan keluarga.

Gerakan ku terhenti saat mengingat kembali masa terakhir kali aku bersama dengan Jean. Sejujurnya, sungguh tak pernah terlintas dalam benakku jika hubunganku bersama Jean kembali seperti saat SMA. Iya, aku dengan Jean dulu sangatlah dekat sebagai seorang sahabat. Namun, komunikasi kita terputus saat kami saling mengejar masa depan masing-masing. Aku yang kuliah sembari bekerja dan Jean yang berusaha menghidupkan kembali bisnis ayahnya untuk memperbaiki perekonomian mereka yang memburuk selepas kelulusannya di bangku SMA. Ditambah masalah keluarga Jean yang lainnya juga membuat laki-laki itu menarik diri dari sosial media. Membuatku tak tahu menahu tentang kabar sosoknya.

Mataku mengerjap saat suara klakson mobil Jean berbunyi keras memekakkan telinga. Segera aku merapikan alat make up dan benda riasanku lainnya ke tempat asal sebelum memakai high heels dan menemui Jean. Entah bagaimana reaksi Bu Indri ketika melihatku dengan pakaian seperti ini keluar kos. Aku berharap beliau tidak memberiku kritikan sebelum pergi, sebab ini permintaan Jean yang tak mungkin ku tolak demi masa depanku dengan Jean.

Tepat saat aku menyelesaikan semua kegiatanku, Jean mengetuk pintu. Tanganku membukanya dengan mantap. Jean berdiri dengan gagah di hadapanku. Dia memakai jas yang juga berwarna hitam dengan dasi merah yang terpaut rapi di lehernya. Aku terpukau, terlampau kagum menatapnya. Jean terlihat lebih tampan dari biasanya.

Melihat dasinya yang sedikit miring, aku pun spontan merapikannya membuat Jean menyunggingkan sudut bibirnya. Aku pun tanpa sadar mengikuti senyumnya yang merekah.

"Sudah rapi."

"Terima kasih, Sayang," pungkasnya, lalu menggandeng tanganku.

Aku mencegahnya sebentar karena belum mengunci pintu. Kami mampir sebentar ke rumah Bu Indri untuk pamit lebih dulu pada beliau.

Sama seperti dugaanku, Bu Indri terbelalak melihat ku dengan gaya pakaian yang tak biasanya. Dia memandangku dari ujung kaki hingga ke atas. "Astaga ... ini Misya? Cantik sekali kamu, Sya."

"Calon saya, Bu. Mau bertemu mama saya," sahut Jean membuatku tersipu.

"Oalah, pantas. Mau ketemu ibu mertua rupanya," tuturnya terkekeh.

Kami hanya mengangguk seraya menyembunyikan raut wajah yang sama-sama tersipu. Aku langsung berpamitan pada Bu Indri agar tidak terlalu larut untuk pergi makan malam, takut mama Jean menunggu. Terlebih juga agar Bu Indri tidak menggoda kami dengan ucapannya yang menyuruh Jean sesegera mungkin menikahi ku.

Oh, astaga. Rasanya aku ingin menghilang saat itu juga. Apalagi saat melihat Jean yang hanya terdiam seolah menyetujui dan mengiyakan ucapan Bu Indri.

"Bu, kami pamit dulu, ya," pamit ku. Begitu juga Jean yang turut menundukkan kepala sekadar memberi sedikit hormat pada Bu Indri.

Laki-laki itu kini menggandeng lenganku kembali, bak raja yang tak ingin terpisah dengan ratunya. Sebenarnya ini terasa sedikit berlebihan, tetapi Jean mengatakan jika kami harus seperti ini hingga berjumpa dengan mama untuk menunjukkan betapa yakinnya kami ingin hidup bersama nantinya.

Jean menuntunku perlahan hingga menuju mobil tanpa sedikit pun melepas genggamannya pada diriku. Hal ini sungguh membuatku semakin ingin berteriak. Jean, kenapa kau romantis sekali!? batinku penuh haru.

Dirasa posisi ku sudah nyaman, juga Jean yang duduk di bangku pengemudi sembari menatapku sekilas dengan seutas senyum yang menampakkan kedua lesung di pipinya. Ia mulai menancapkan gasnya. Jean memecah keheningan diantara kami dengan bertanya bagaimana kondisiku selepas kami tak saling menyapa dulu.

Pertanyaan itu sejujurnya membuat hatiku perih sebab memaksaku untuk mengingat kembali kenangan buruk yang sudah ku kubur selama beberapa tahun lampau. Sebenarnya Jean juga tidak memaksa untukku bercerita jika aku tidak siap, tetapi aku mengutarakannya agar Jean mengerti jika hidup yang kujalani teramat berat setelah kehilangan tempat bercerita juga teman yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.

"Kau menganggap ku sebagai kakakmu? Misya, yang benar saja."

"Itu dulu. Tapi semakin lama aku merasa jika aku ternyata menyukaimu bukan sebagai kakak. Bukan juga sebagai teman, tetapi lebih dari itu. Aku ingin kau selalu bersamaku saat itu."

Pernyataan itu membuat Jean kembali mengulas senyum di sana sebelum akhirnya merenung kembali tatkala dua kalimat ku lontarkan sambil menatap wajah Jean yang masih fokus melihat jalanan.

"Tapi kau pergi. Dan aku merasa, duniaku hancur seketika, Je," pungkasku dengan helaan napas berat.

Tanpa kusadari, Jean menarik rem mobilnya mendadak membuatku hampir tersungkur, tetapi untungnya tertahan oleh seat belt yang sudah ku pasang rapat. Dengan sedikit amarah aku langsung menoleh ke arahnya.

"Jean, kau ini kenap-" Belum sempat aku melanjutkan kalimatku. Jean lebih dulu mengecup keningku cukup lama.

Tindakan Jean benar-benar membuatku membeku. Jantungku serasa berhenti selama beberapa detik hingga akhirnya Jean menyatukan dahi milikku juga miliknya.

"Aku minta maaf. Aku juga hancur saat itu, Sya. Aku merasa jadi seorang pecundang saat menarik diri dari sosial media, juga tak berani menghubungimu sama sekali."

Kini Jean beralih mencium punggung tanganku. Oksigen yang tadinya terhenti seakan berkumpul kembali memenuhi rongga dadaku. Aku menatapnya sendu, mengangkat dagunya. "You're hero in your family, Jean. Jangan meminta maaf, kau bukan pecundang."

"Aku mencintaimu, maka dari itu aku juga memahami mu." Tatapanku teduh padanya.

Aku melirik jam tangan yang terpaut di tangan kanan milik Jean. "Lebih baik kita segera pergi. Takut mama menunggu."

Ia hanya mengangguk menuruti ucapan ku. Dirinya kembali menancapkan gas dan membelah hiruk pikuk Kota Surabaya. Bersama dengan gerimis yang perlahan melanda, kami memutar lagu favorit bersama. 'Yellow-coldplay'.  Aku dan Jean bernyanyi bersama, diselingi canda dan tawa, hingga tak terasa setengah jam berlalu begitu cepatnya.

Kini, kita telah sampai pada sebuah restoran dengan nuansa candle light dinner dipadukan dengan view kolam renang serta kota pahlawan membuat malam ini semakin sempurna. Jean ternyata pintar dalam meng-handle acara. Ku kira mama Jean yang me-reservasi restoran ini private untuk kami, rupanya aku salah. Jean yang mempersiapkan semua ini.


Dari awal kami masuk sudah disuguhkan pada alunan musik yang mendayu. Aku rasa Jean menyewa pemain biola untuk semakin melengkapi keindahan dinner kami. Laki-laki di sampingku kini memegang pinggulku selayaknya pasangan romantis.

Alangkah berdegupnya jantungku tatkala mama Jean sudah sampai lebih dulu dan berdiri di meja makan dengan anggun seakan menungguku dan Jean. Namun, dari jauh pandanganku menelisik saat melihat mama Jean juga membawa seseorang yang sepertinya kukenal.

"Shashee?"

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now