Dua ; Jean dan Empatinya

10 4 0
                                    

Selepas pertemuanku dengan Jean kala itu. Sebuah pesan masuk dari ponselku. Aku bisa menebaknya. Benar saja, itu adalah pesan dari Jeandra.

Kemarin, Jean memintaku untuk mengunjungi kafe nya hari ini, karena dia bilang ingin membuat menu baru di kedainya. Dia bilang jika aku adalah orang pertama yang harus mencicipi resep barunya. Sedikit aneh kurasa. Dalam benakku terlintas satu pertanyaan, mengapa bukan Sashee saja?

Ya mau bagaimana pun, sepertinya Jean juga lebih dekat saat ini dengannya bukan? Lantas mengapa aku? Jelas-jelas aku sendiri baru pertama kali bertemu dengannya lagi semenjak kita lulus dari bangku SMA. Aku tak berpikir panjang, sesegera mungkin selepas kuliah aku mengunjungi kafenya.

Ketika pertama kali kulangkahkan kaki masuk. Tepat di depan pintu kafe itu, Jean menyambutku dengan senyum cerahnya.

"Hi, gadis usil," ejek Jean padaku. Aku hanya tersungging.

"Hi, laki-laki tukang ngambek," balasku. Raut wajah Jean berubah sepersekian detik.

Aku benar-benar tertawa. Siapa suruh menggodaku lebih dulu? Aku pasti akan membalas. Jean masih menatap sebal ke arahku. Ya, lagi-lagi aku harus mengalah untuk meminta maaf padanya.

"Maaf, bercanda, Jean."

"Misya, bercandamu sama sekali tidak lucu. Tapi baiklah, aku maafkan dengan satu syarat."

Dahiku mengernyit. "Apa?"

Sebelum dia mengucapkan syarat tersebut, Jean lebih dulu menyeringai membuatku curiga dengan syarat yang akan diajukannya. Jean berjalan lebih dekat ke arahku. Kedua manik mata kita saling beradu pandang.

"Eh, a-apa maksudmu Jean?" ujarku sedikit gugup karena jarak kita yang hampir tak memiliki sekat.

"Syaratnya ... kita harus berfoto bersama," ucapnya yang langsung berpaling begitu saja.

Laki-laki ini membuat degup jantungku berdebar seketika. Jean sial. Sore ini aku benar-benar sial! Sekesal apa pun aku, tetap saja aku tak bisa menunjukkan amarahku padanya. Jika tidak, dia yang akan mengejekku.

"Ayo, Sya. Aku sudah minta tolong pada Geena."

"Geena?"

"Karyawanku. Dia cantik, juga baik. Sepertimu, Sya." Lagi. Jean membuatku tersipu, tetapi tetap aku tidak akan luluh dengan segala rayuannya.

Lelaki di hadapanku saat ini memang dijuluki sebagai raja gombal semasa kita masih bersekolah. Jadi, tidak perlu terkejut. Aku sudah hafal meskipun beberapa kali pipiku turut memerah.

Ketika Geena berhadapan dengan kami, Jean mendekat padanya. Tangannya bergerak beberapa kali tanpa bersuara sepatah pun pada Geena. Aku tak mengerti apa yang sedang merekan lakukan, yang pasti Geena hanya manggut-manggut.

Jean berbalik dan kembali berjalan mendekat ke arahku. Tangan Jean tanpa aba digantungkan pada pundakku.

"Sya, Geena itu tuna rungu dan tuna wicara. Jadi, kalau kau ingin berbicara sesuatu padanya bilang padaku saja, biar aku yang menerjemahkan," bisik Jean membuat mataku terbelalak.

Aku tak menyangka dengan apa yang baru saja kudengar. Tatapanku kini mengarah pada Jean. Jean yang mengerti maksud dari raut wajah kebingunganku pun hanya mengangguk-angguk meyakinkanku seakan berkata 'tidak papa'.

Kami mulai berfoto bersama dengan Geena yang beberapa kali mengatur gaya fotoku bersama Jean. Tenyata benar kata Jean, Geena tidak hanya cantik, tetapi juga baik. Bahkan ia juga pintar, semua foto hasil potretannya terlihat indah. Sepertinya aku harus banyak belajar dari Geena.

××××

Selepas melakukan sesi foto yang entah untuk apa nantinya akan Jean buat, dia mengajakku duduk ke sudut ruangan kafenya. Jean menyuruhku menunggu sebentar selagi ia membuat menu baru yang akan disuguhkan padaku. Aku hanya menuruti perintahnya.

Coffee Shop Where stories live. Discover now