Empat ; Masa Lalu

7 4 0
                                    

Langkahku mematri keluar pintu kafe. Sembari diikuti Jean dari belakang, aku tetap tak menoleh sedikit pun padanya. Jean beberapa kali menarik tanganku untuk mengajakku berbicara kembali, tetapi aku menangkisnya berulang kali.

"Misya tunggu!" lantangnya membuat jalanku terhenti. Aku masih belum membalik badan. Sementara Jean menyambung kalimatnya.

"Dengar, aku tidak akan menikah dengan Sashee."

Aku terdiam sejenak, lalu memutar posisi ku penuh menghadap sosok di seberang sana. Dia sedikit berlari menuju ke arahku, hingga akhirnya kita berhadapan satu sama lain.

Jean menatapku dalam, mengambil kedua tanganku dan menggenggam jemariku lembut. "Jangan pergi. Menikahlah denganku, Misya," tuturnya sesaat lolos membuat diriku tercengang.

"Jean kau gila, ya!?"

"Iya. Aku gila karena kau." Tatapan Jean seakan menyala bersamaan dengan ucapannya yang entah dia sadari atau tidak.

Kembali aku menghempaskan tangannya. Telapakku spontan menyentuh dahinya, memastikan jika Jean tidak sedang mengigau karena ucapannya yang terdengar cukup melantur.

"Aku sadar. Aku mengucapkannya secara sadar." Jean mengulang kalimatnya, memperjelas. "Ikut denganku nanti malam, kita bertemu mama," pungkasnya yang lalu pergi dari hadapanku dengan segala tanya yang memenuhi ruang pikiranku.

Dia benar-benar laki-laki paling menyebalkan yang pernah kutemui seumur hidup. Dia meninggalkanku sendiri di sini dengan kebingungan. Aku harus apa? Apakah Jean sungguh-sungguh dengan perkataannya? Jika iya, maka matilah aku.

Sosok seperti diriku mana mungkin bersandar dengan anak tunggal kaya raya macam Jean? Sangat mustahil. Lagipun aku terlupa dengan mimpiku yang harus menamatkan sarjana lebih dulu ketimbang menikah.

Laki-laki itu sungguh membuatku gila dengan segala macam pikirannya. Astaga, ada-ada saja. Ya, memang salahku juga, sih, sebenarnya. Mengapa tadi aku memasang raut wajah kekecewaan saat Jean mengutarakan itu? Mungkin jika tadi aku terlihat antusias saat mendengar kabar Jean menikah dengan Sashee, hal ini tidak akan terjadi.

Tapi mau bagaimana lagi, aku tak mampu menahan rasa sakit hati ku saat mendengar Jean ingin bersama perempuan lain. Terlebih sosok itu adalah Sashee. Seorang yang membuat hubunganku hancur beberapa tahun lalu dengan Sean.

Mau tak mau, kupaksa diriku pulang dengan berjalan lemas sembari terus memikirkan apa yang Jean ucapkan. Tapak kakiku menyusuri jalanan yang tak jauh letaknya dari kosan ku. Tanpa sadar, sosok mobil putih menyerempetku hingga membuatku tersungkur.

"Aduh!"

Langkah seseorang yang tak kukenal terlihat dari berjalan mendekat ke arahku setelah membuka pintu mobilnya. "Maaf saya buru-buru tadi. Apa mba mau saya antar ke rumah sakit saja?"

Ku angkat wajahku karena suaranya yang terdengar tak asing di telingaku. Saat ia akan membantuku berdiri, manik mata kami saling bertemu satu sama lain.

"Sean!?"

"Misya!?"

Entah kebetulan dan kejutan apa yang sudah Tuhan rencanakan padaku hari ini. Mulai dari Jean yang ingin menikahi ku, dan pertemuan tak sengaja dengan Sean yang ku alami saat ini membuatku benar-benar kehabisan kata.

Melihat wajah Sean membuatku mengingat kejadian buruk beberapa tahun lalu. Tentang dia yang menyelingkuhi ku dengan Sashee di sebuah club malam. Dengan keadaan mabuk, mereka berciuman tepat di depan mataku. Begitu buruknya keadaanku saat itu, tetapi Jean lah yang selalu setia menemaniku.

Jean yang memberitahu ku betapa busuknya kedua manusia itu. Dia juga yang menemaniku tatkala diriku dirundung kesedihan karena perilaku Sean. Masih tersimpan rapi dalam memoriku ketika Sean dan Sashee bermain di belakangku tanpa rasa bersalah. Bahkan mengingat kejadian itu pun rasanya aku sangat jijik!

"Misya, hei." Sean membuyarkan lamunanku dengan tangannya digerakkan ke kanan dan kiri.

Aku terkesiap. Segera kuberanjakkan tubuhku dari sana dan menjauh layaknya orang ketakutan menatap Sean.

"Misya aku ingin bicara. Sebentar saja ku-"

"Tidak!"

"Pergi kau!"

Sean terus berjalan mendekat ke arahku. Langkahku turut bergerak mudur, menjauh dari Sean. Dia semakin bergerak maju. Aku berlari, tetapi nahas, langkahnya lebih cepat daripada yang kuduga. Sean berhasil menangkapku. Ia memelukku dari belakang.

"Kumohon maafkan aku Misya. Aku mencarimu selama beberapa tahun, tapi kau menghilang, kau pergi tanpa kabar. Kau tahu? Aku hampir gila karena mu, Sya."

Aku berusaha keras melepas pelukannya. Setelahnya aku membalik badan cepat dan melayangkan satu tamparan keras pada pipi Sean. "Kau yang membuatku gila!"

"Kau bermain dengan Sashee di depan mataku Sean! Kau lupa!? Bahkan aku seakan sampah yang kau buang begitu saja saat kau sudah bersama Sashee!" ujarku penuh amarah pada Sean.

"Aku tahu aku salah. Saat itu aku mabuk, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih, Sya. Tolong kembalilah, aku rindu," ucapnya maju selangkah ke arahku.

"Stop! Jangan lagi kau mendekat dan menyentuhku Sean! Aku sangat membencimu. Sangat mem-ben-ci-mu." Aku mengeja kata itu dengan penuh tekanan. Sorot mataku benar-benar tajam ke arahnya.

Anehnya Sean bersikukuh, dia masih mendekat ke arahku hingga tanganku pun turut dicengkeramnya. Aku meringis kesakitan, hingga bulir air mata menetes tanpa ku sadari. Ternyata Sean tidak berubah. Dia masih kasar seperti dulu. Mungkin karena itu Sashee ingin bersama Jean saat ini.

"Kau harus ikut denganku!" Sean menautkan kedua alisnya. Amarah dari wajahnya terpancar, aku begitu ketakutan.

"Lepas ... Sean tolong lepaskan aku, sakit ...,"  isakku. Air mataku mendadak runtuh. Aku tak bisa menahannya lagi, ini sakit sekali.

"Lepaskan Misya, Sean!" Suara lantang dari sosok di seberang sana membuat ku dan Sean menoleh bersamaan

Dia berlari menuju ke arah kami. Dengan waktu singkat, ia menendang perut Sean  begitu keras hingga pria itu tersungkur jauh. "Jean ... tolong," ucapku gemetar.

Saat Jean beralih akan menolongku, Sean berganti menendang punggung Jean dari belakang. Aku spontan membulatkan mata sembari menutup mulutku dengan kedua tangan dengan ekspresi ketakutan.

"Jean!"

Sean kembali merangkulku dan membawaku paksa menjauh dari Jean. Aku berteriak keras memanggil Jean, hingga akhirnya Jean terbangun dan kembali berlari untuk melayangkan satu pukulan mengenai pelipis kepala Sean.

Jean berhasil mengambil ku dari Sean. Ia menarik tanganku cepat dan membawaku ke dalam pelukannya. "Kau aman, Misya. Jangan menangis. Aku di sini." Jean berusaha menenangkanku dengan napasnya yang juga menderu.

"Kau pergilah menjauh, aku akan melumpuhkannya lebih dulu di sini. Cari bantuan, cepat!"

Dengan tubuhku yang gemetar dan keringat yang mengucur hingga membasahi baju, aku langsung berlari tanpa arah mencari sebuah pertolongan. Jalanan yang ku lalui tadi memang sepi, karena warga sekitar sini sedang bertamasya dan tadi pagi ibu kos yang memberitahuku.

Sekarang aku berjalan menuju kantor polisi. Hanya itu yang ada di pikiran ku. Jaraknya tidak cukup jauh dari sini, juga tidak jauh dari kafe Jean. Aku berlari tergesa dengan napas tak karuan.

Sesampainya di sana, aku terjatuh. Kakiku sangat lemas, semua pandangan tertuju ke arahku. Salah satu polisi membantuku untuk berdiri.

"Mba, ada apa? Mari ikut saya," instruksinya, aku menurut.

"Pak, tolong saya, Pak. Ada orang jahat, saya mau diculik, Pak. Penjahatnya tidak jauh dari sini. Teman saya sedang berkelahi dengannya. Pak, tolong ....," pintaku memelas.

"Baik, mari antar saya."

Polisi tersebut beranjak dan melambai pada para polisi yang lain, sehingga mereka turut berkumpul di hadapanku. "Ada tugas, kalian ikut saya dengan Mba ini."

"Siap, Pak. Tapi mohon maaf izin menyela, apakah tidak ditulis dulu kronologinya?"

"Nanti saja."

"Siap, Ndan!"

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now