28. Lima Meter

4.1K 721 89
                                    

"Claude Archer baik-baik saja~" Roh angin berseru dengan riang. "Memang, pria aneh itu mengunci Claude Archer, Feliard, dan Robin di dalam jeruji besi, tapi mereka tidak terluka."

Aku menghela napas lega. Untunglah, Claude baik-baik saja. Setidaknya, walau dia tertangkap, dia tidak terluka. Aku sangat mengkhawatirkan Claude begitu kami terpisah. Untungnya roh angin, di mana dia memperkenalkan diri sebagai Pixy, bisa bicara dengan alam, sehingga bisa tahu informasi seperti ini.

"'Pria aneh'?" Dahi Dillian mengerut. "Siapa itu, Ayah?"

Aku mengembuskan napas. Baik cepat atau lambat, Dillian pasti akan segera menemui orang itu, dan dia memang seorang pria yang aneh. Di dalam novel, Dillian yang mengunjungi Gunung Dulchie setelah gelombang monster berhasil dilenyapkan, bertemu dengan seorang pria yang memiliki penampilan aneh.

Itu adalah pria yang kulihat sebelumnya. Pria itu bernama Felix. Seorang penyihir gelap yang tak diberikan identitas lebih lanjut di dalam novel selain seorang pengguna sihir gelap serta seorang pengendali monster yang berperan sebagai antagonis.

Ketika Dillian dalam novel bertemu Felix di bagian utara Gunung Dulchie, mereka bertarung. Dillian menggunakan pedangnya, sementara Felix menggunakan seruling di mana dia menyalurkan sihir gelapnya lewat musik. Di sana, mereka bertarung habis-habisan.

Sihir dan ahli pedang adalah dua kubu yang bertolak belakang, sulit untuk mengalahkan satu sama lain di kala kekuatan mereka imbang. Namun, kekuatan seorang protagonis tak akan kalah, Dillian menang pada akhirnya. Dia berhasil menusuk jantung Felix dengan pedangnya. Felix, di masa sekaratnya, hanya tertawa sambil menyemburkan darah dari mulutnya.

Di sana, Dillian menatap Felix dengan tatapan merendahkan. Bahkan kala Felix mengucapkan kalimat terakhirnya yang berupa, "Kau akan mati pada akhirnya." Dillian sama sekali tak berkutik, bahkan sorot takut atau keputusasaan tak ada dalam kedua maniknya yang berwarna kelam.

"Ian, aku ingin kamu tidak terkejut, oke?" tuturku dengan lembut.

Dillian mengangkat alis. "Baiklah."

Aku menarik napas. "Pria aneh itu adalah orang yang mengendalikan monster."

Meski aku ingin Dillian tak memberikan reaksi berlebihan, tetapi dia tetap membulatkan mata. "Maksud Ayah, para monster yang mengejar kita itu dikendalikan oleh pria aneh itu?"

"Benar. Dan tujuanku mengunjungi gunung ini adalah untuk menghentikan apa pun yang hendak direncanakan pria aneh itu." Lalu, mengambil permata biru di mana roh angin bersemayam.

Dillian terdiam sejenak, tetapi langkah kami yang masih menyusuri tepi sungai masih belum terhenti.

"Mengapa?"

"Apa itu, Ian?"

"Mengapa Ayah ingin menghentikan apa yang direncanakan pria aneh itu?"

Mengapa aku ingin menghentikannya? Mungkin karena aku adalah orang yang mudah bersimpati pada orang lain. Misalnya, jika aku melihat seorang pengemis di jalanan, aku pasti akan menyisihkan uang untuk mereka, walaupun itu adalah uang terakhirku.

Makanya, saat aku membaca novel Became the Most Popular Hero is Hard, pada adegan gelombang monster yang sangat merugikan, itu penuh dengan tragedi. Para monster akan menyerang desa, terutama wilayah Archer, tanpa pemberitahuan, datang bagaikan tsunami yang menghantam desa.

Rumah dan bangunan akan roboh, anak-anak akan mati terinjak, orang-orang akan dimakan habis oleh monster, tak ada pengampunan sama sekali. Di sana, tidak hanya Archer yang menderita kerugian, melainkan dua wilayah bangsawan yang mengapit Archer, Marquis Edver dan Viscount Vernon.

Suddenly, I Became the Hero's FatherWhere stories live. Discover now