12. Kebenarannya

6.5K 985 123
                                    

Terima kasih yang sudah menjawab quiz kemarin ya. Usia Alois Archer itu 35 tahun. Di bab 5 dikatakan kalau rentang usia Kelith dan Alois itu sembilan tahun. 26 ditambah sembilan itu 35. Dan yeyy, ada yang jawab bener. Ayo berterima kasih pada tokoh tersebut karena berkatnya, Hero's Father update hari ini♡

***

Fajar menembus langit kala Dillian membuka matanya di ruang kamarnya yang baru. Ruangan yang disiapkan oleh ayahnya bagi Dillian untuk menetap, digunakan sebagai tempat nyaman Dillian untuk menghabiskan waktunya, bahkan kamar Kelith tepat berada di samping kamarnya sehingga memberikan rasa aman tersendiri bagi Dillian.

Pagi itu, Dillian merasa hatinya ringan, seolah beban berat yang selama ini menghantuinya dan mengekorinya, lenyap tak bersisa, terbakar menjadi abu. Sebuah perasaan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi, hadir kala Kelith mulai menunjukkan perhatian kecil untuk Dillian.

Tak seperti tuan muda bangsawan lainnya yang selalu dilayani oleh pelayan, tak banyak pelayan yang sudi untuk berada dalam ruangan yang sama dengannya, sehingga Dillian hanya memiliki dirinya sendiri untuk bergantung. Meski begitu, Dillian tak terlalu memedulikan hal itu. Dia awalnya hanya rakyat jelata dari sudut gang ibu kota, darah biru tak mengalir dalam nadinya, dan Dillian sudah hidup mandiri dan dibenci semenjak dia kecil.

Memulai aktivitasnya, Dillian mandi lalu mengganti pakaiannya. Dia tak lagi mengenakan kemeja putih sederhana yang kusam dan celana hitam, tetapi benar-benar pakaian yang menandakan status kebangsawanan. Pakaiannya berwarna perak madu, dengan beberapa aksesori yang khas. Kemarin, Kelith memanggil seseorang dari toko perhiasan untuk menindik telinganya, dan kini Dillian bisa memasang antingnya sendiri.

Ketika melihat satu buah anting berbandul permata yang terpasang di telinga kirinya, itu benar-benar mengingatkan Dillian pada birunya pupil Kelith yang lembut, sehingga Dillian merasa puas. Setelah dia merasa bahwa dia sudah siap, Dillian langsung pergi ke ruang makan. Dia sarapan bersama Kelith yang duduk di sampingnya, lagi.

Sayangnya, Kelith memiliki pekerjaan penting setelah sarapan sehingga Dillian tidak bisa menghabiskan waktu dengannya. Yah, bukan hal yang tak biasa. Kelith memang selalu sibuk dan Dillian harus mengerti.

Makanya, di sela waktunya yang senggang, dia sering mengunjungi arena latihan ksatria dan memperhatikan latihan mereka, sehingga terkadang kala tak ada yang melihat, Dillian selalu mempraktekan apa yang dia lihat. Sesekali menggunakan pedang kayu atau pedang berkarat yang bilahnya telah terkeropos, yang hendak dibuang oleh para ksatria, diam-diam membawanya ke kamarnya yang lama, lalu latihan di sana sepanjang malam.

Sebagian besar pelayan membencinya, menatap Dillian bagai seekor serangga, tetapi ada juga yang menyukainya. Mereka menyukai Dillian karena dia ramah dan murah senyum, bahkan sering kali membantu pekerjaan kasar yang melelahkan. Dari pelayan yang baik padanya, mereka terkadang menyelundupkan kudapan sisa untuk Dillian, dan Dillian sangat menghargainya.

Waktu berjalan tanpa terasa, jam menunjuk angka sebelas, Dillian yang sedang membantu pelayan lainnya dalam pekerjaan angkat-mengangkat, diminta untuk beristirahat. Lagipula, jam makan siang hampir tiba dan Dillian kini wajib berada di meja makan, kalau kata Kelith.

Namun, masih ada sekitar satu jam untuk jadwal makan siang sehingga Dillian memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kediaman. Dia seringkali meminjam banyak buku, membacanya, dan mempelajarinya. Meski memang Dillian sendiri tak tahu mengapa mantan anak jalanan sepertinya rupanya bisa baca tulis walau dia tak pernah belajar.

Di persimpangan lorong, Dillian menghentikan langkahnya kala sepasang sepatu tinggi yang dikenakan oleh seorang gadis mungil menghalangi langkahnya.

"Nona Muda Thalitha?" panggil Dillian dengan nada rendah hati dan santun, dia tak bisa menaikkan nadanya atau salah bicara pada nona bangsawan, terutama putri pertama dari sang Duke jika tak ingin ditindas dan dipermalukan oleh anak itu. "Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Suddenly, I Became the Hero's FatherWhere stories live. Discover now