78. Pendeta Agung

1.5K 237 59
                                    

Jika aku bisa memberi nilai, sihir teleportasi memiliki nilai 1/10, alias sangat jelek! Ini adalah sihir yang rasis terhadap non pengguna sihir! Bagaimana tidak? Jika itu adalah Dillian, Callie, atau roh angin yang memiliki kekuatan sihir atau kekuatan alam, maka aku yang sama sekali tidak memiliki sihir dan alam—karena kekuatan angin adalah pinjaman, jadi kekuatan itu bukan milikku, aku malah berakhir tidak enak badan setelah melewati sihir teleportasi.

Benar apa yang dikatakan di dalam novel jika pengalaman memasuki portal sihir teleportasi bagi orang-orang yang tidak memiliki sihir, maka itu tidak akan terasa nyaman. Dan ini sangat benar.

"Ini tehnya, Ayah. Apa kamu merasa hal lain lagi selain pusing dan mual?" tanya Dillian, napasnya terengah ketika dia sepertinya buru-buru pergi ke kota untuk membeli segelas teh hangat.

Aku meneguk teh hangat pemberian Dillian, rasa mualnya sedikit mereda. Dan aku menghela napas. Tubuh sialan ini, menjadi lemah saja tidak cukup, sekarang malah berubah menjadi beban?

"Tidak apa." Aku mengulas senyuman lirih. "Aku baik-baik saja, aku hanya perlu beristirahat selama lima menit."

"Ayah, tidak apa, tidak perlu memaksakan diri. Kita bisa memulai rencana apa pun itu besok, bukan?"

"Tidak, aku ingin cepat-cepat kembali ke rumah dan menyelesaikan masalah ini." Karena aku yakin di rumah saat ini, Alois sudah mengamuk besar jadi aku tidak bisa menunda waktu lebih lama lagi dan membuat amarah Alois makin berkobar.

"Kamu ini sangat lemah," ejek Sora, meski begitu dia mengalirkan sesuatu di tubuhku yang membuat rasa pusing mereda. Dasar, tidak mau jujur.

Setelah menunggu selama beberapa menit, aku akhirnya merasa lebih baik.

"Sungguh, tidak memaksakan diri?" Saat bertanya, Dillian seolah memiliki ekor yang berkibas sedih di punggungnya. Dan telinganya seolah agak menurun selayaknya anak kucing.

Haduh, lucunya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membelai kepalanya. "Sungguh, aku baik-baik saja sekarang." Aku lantas melirik Callie. "Callie, selain sihir teleportasi, apakah kamu bisa melakukan sihir lainnya? Seperti, penyamaran?"

Callie menatapku. "Ya, aku setidaknya bisa mengubah satu atau dua ciri khasmu untuk menyamar. Apakah kamu harus menyamar, Tuan Keith?"

"Benar, aku harus menyamar. Apakah kamu bisa melakukannya?"

"Yah, aku tidak bisa mengubah tubuhmu menjadi seolah orang lain, tapi akan kuusahakan."

***

"Pendeta agung, katanya."

"Aura yang dikeluarkannya terasa begitu suci. Jangan-jangan, memang pendeta asli?"

"Pendeta dari kuil Dewa Bintang, ya. Sudah lama aku tidak mendengarnya."

"Dewa Bintang itu, 'kan, dewa yang hampir dilupakan, tidak banyak lagi pemujanya."

Itu adalah bisik-bisik yang aku dengar ketika aku dan grupku mulai memasuki wilayah Lamieu untuk pertama kalinya. Kami memasuki gerbang wilayah dengan identitas sebagai pendeta dan musafir, makanya ksatria penjaga bisa memasukkan kami. Meski di latar belakang cerita, Callie telah terburu-buru membuat identitas palsu untuk kami.

Pixy, dia tidak bisa berkeliaran dengan angin puyuhnya, makanya dia kembali ke permata birunya Dillian.

"Nama saya Keith, saya adalah pendeta dari kuil Dewa Bintang yang diutus oleh Putra Mahkota untuk menyembuhkan hamba malang yang menderita keracunan," ujarku dengan senyuman lembut pada pendeta setempat. Tempat yang kami kunjungi adalah gereja dan para pendeta di sana terperangah mendengar identitasku.

Suddenly, I Became the Hero's FatherWhere stories live. Discover now