39. Sang Penentang Takdir

2.8K 517 55
                                    

Aku kini mengerti betapa berharganya energi kehidupan untuk bertahan hidup. Aku yang telah kehabisan energi itu, kini merasa agak tersiksa. Tubuhku lemas dan sempoyongan, kepalaku sedikit pusing, dan aku merasa cukup lapar. Aku benar-benar harus mengistirahatkan tubuhku, tetapi aku merasa bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk beristirahat.

Nona elf yang kutemui beberapa saat yang lalu, memohon bantuan padaku karena tetuanya berada dalam situasi yang membahayakan nyawanya, makanya saat ini aku sedang mengikuti nona elf itu menuju tempat tinggalnya.

Di sepanjang jalan, nona elf itu cukup berguna karena membunuh para monster yang menghalangi jalan kami. Itu sangat membantuku yang sudah tidak bisa melawan para monster lagi dengan kekuatan sendiri.

Tak lama setelah kami berjalan, kami tiba di hadapan sebuah dinding yang menjulang tinggi, dinding itu terbuat batu raksasa. Ini seperti jalan buntu bagi orang biasa, tidak terlihat ada jalan lagi ke depan. Namun, aku tidak heran jika di hadapan kami, tiba-tiba saja ada portal setinggi dua meter yang muncul di permukaan dinding batu selepas nona elf itu merapalkan sesuatu bagai mantra dengan bahasa yang tidak kuketahui. Warna portal itu perpaduan antara berbagai warna biru, hitam, putih, dan sedikit efek kilauan emas, cantik sekali saat terus ditilik, mirip dengan galaksi bundar.

"Masuklah," ujar elf itu.

Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah elf itu untuk memasuki portal. Sensasi di mana aku sedikit melayang saat melewati portal bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Ini ternyata mirip-mirip dengan sihir teleportasi, makanya aku selalu menghindari sihir itu supaya tidak merasa seperti ini. Untungnya, perasaan ini hanya berlangsung singkat.

Kini, aku dihadapkan pada panorama yang menakjubkan setelah melewati portal yang kuyakini sebagai pintu masuk yang memisahkan dua wilayah. Elf adalah ras yang sangat waspada, karena keunikan mereka dalam bentuk fisik, tak jarang mereka dijadikan sebagai alat jual beli atau budak. Makanya tidak heran kalau mereka memilih untuk tinggal di dalam wilayah yang mereka bangun sendiri, terisolasi dan terpisah dari ras lainnya, demi kenyamanan tersendiri.

Dan di dalam tempat tinggal ini, rupanya dibangun dengan sangat memukau. Sepanjang mata memandang, hanya ada hijau, lebat, dan subur. Ada puluhan pepohonan di mana di atasnya, dibangun rumah kayu. Setiap pohon menampung satu rumah, beberapa menggunakan jembatan untuk bisa saling terhubung guna melintas. Di bagian bawah pohon, hanya ada hamparan rerumputan yang luas. Tidak hanya itu, para elf tengah beraktivitas di sana. Hidup seperti orang-orang pada umumnya, membangun desa. Ini terlihat damai.

Melihat pemandangan ini, mau tak mau aku berpikir. Mengapa elf yang dikatakan sebagai ras yang mengisolasi diri dari ras lainnya karena waspada, mau dengan mudah membawaku ke tempat tinggalnya? Sebenarnya, di mana sifat asli mereka? Aku juga jadi menduga, jika ada hal yang elf ini sembunyikan dariku, membuat trik supaya dia bisa membawaku kemari.

"Nona, kamu agak naif menurutku," ujarku tiba-tiba.

Elf yang berjalan di hadapanku berhenti, dia menoleh sambil mengerutkan dahinya padaku. "Apa maksudmu?"

"Mengapa kamu asal percaya padaku?" Aku mendekati elf itu. "Bukankah tidak ada jaminannya jika aku tidak membodohimu dengan kalimatku sebelumnya? Bagaimana jika aku hanya sedang menyembunyikan kekuatanku dan sedang berusaha untuk memburu para elf? Telinga elf, itu dijual dengan harga yang tinggi di pelelangan, bukan? Dan bagaimana jika akulah orang yang telah menyihir para monster dengan sihir gelap?"

Elf itu menyipitkan matanya.

Jeda hampir lama, hingga aku bingung, apa aku salah bicara?

Tak lama kemudian, sorot elf itu sedikit berbinar.

Eh? Berbinar?

"Seperti yang diharapkan darimu yang sosoknya terukir dalam ramalan rasi bintang."

Eh? Ramalan rasi bintang? Apa maksudnya?

Suddenly, I Became the Hero's FatherWhere stories live. Discover now