DUA PULUH EMPAT

18.8K 792 41
                                    

Ashilla tidak dapat lagi membendung air matanya ketika berpamitan dengan seluruh keluarganya yang juga ikut menangis. Setelah satu minggu, Ashilla pada akhirnya harus pulang, bagaimana pun ia sudah menikah. Kewajibannya sudah berbeda, mengurus suami dan mertua adalah kewajibannya sekarang. Selama satu minggu ini Aila ikut tinggal dengannya, membuat perasaannya sedikit membaik. Dokter Ira juga sering datang untuk meninjau perkembangan mental Ashilla.

Gus Ikmal juga tinggal bersama disana. Dalam seminggu ini Gus Ikmal merasakan apa yang Ashilla rasakan. Merasakan bagaimana rasanya di abaikan, dan di perlakukan mesra hanya di hadapan orang lain. Ashilla semakin dingin, pernah di suatu malam Ashilla sempat demam, Gus Ikmal berniat menyentuh dahinya untuk merasakan suhu panasnya, namun Ashilla menolak sentuhannya dengan tegas.

Rasanya ternyata menyakitkan sekali ....

Selama dalam perjalanan, Ashilla tampak banyak diam hanya sesekali menjawab pertanyaan Aila tentang PR yang tengah di kerjakannya. Ashilla sengaja mengambil duduk di kursi belakang bersama Aila, karena enggan berdekatan dengan suaminya.

Ia hanya menatap jalanan yang di lewatinya, seraya memejamkan matanya.

"Umi masih sakit ya Baba?" anak itu berbicara pelan, seolah takut mengganggu uminya yang nampak terpejam.

Gus Ikmal melirik Aila dari kaca tengah, kemudian mengangguk pelan. Ia juga mencuri tatap pada Ashilla, ia tahu jika Ashilla tidak tidur atau pun kelelahan, Ashilla sedang tidak ingin terlibat pembicaraan apa pun dengannya.

"Kok kesini?" Ashilla membuka kedua matanya dan menemukan jika mobil milik suaminya melaju masuk ke sebuah parkiran restoran.

Setelah selesai, Gus Ikmal membuka sabuk pengamannya, menoleh ke belakang menatap istrinya. "Aila mau makan dulu katanya." jawabnya.

Ashilla tidak menjawab, ia menggendong Aila yang tampak terlelap tanpa berniat membangunkannya, ia melangkah keluar mobil menunggu Gus Ikmal yang tengah mengunci mobil. "Sayang, bangun yuk Nak." Seraya berjalan di belakang sang suami, Ashilla mencoba membangunkan Aila yang masih terlelap.

Setelah percobaan beberapa kali, Aila akhirnya terbangun. "Umi..." gumamnya seraya mengucek kedua matanya untuk terbuka.

"Sini sama Baba ya, kasin lho Umi kamu kan makin berat." Gus Ikmal hendak mengambil Aila dari gendongan Ashilla, namun istrinya itu tampak enggan.

"Baba carikan kursi saja, Aila biar sama Umi."

Jika sudah begini maka Gus Ikmal hanya bisa menurut.

Setelah mencari tempat yang kosong, Ashilla mendudukkan Aila pada kursi di sebelahnya, ia dan Gus Ikmal memesan menu makanan lalu menunggu pesanan mereka datang.

Lagi-lagi Gus Ikmal menghela napas, raganya Ashilla memang berada bersamanya tapi pikiran istrinya seolah berada di tempat lain, mereka benar-benar seperti orang asing.

Ia sendiri bingung, harus dengan cara apa lagi agar Ashilla mau memaafkannya.

Pesanan mereka datang, Aila tampak merengek meminta uminya menyuapi dirinya. Karena akhir-akhir ini perhatian uminya tampak berkurang kepadanya, dan itu selalu membuatnya sering kali bertanya kepada Babanya apakah ia memiliki salah, atau ia nakal sampai perhatian Uminya itu berkurang.

"Aila makan sendiri dulu ya Nak. Kepala Umi pusing." tolaknya, Aila hendak menangis namun melihat gelengan kepala dari Babanya, ia mengurungkan niatnya.

"Mau Baba suapi saja?"

Aila menggeleng, "Ndak usah Baba, Aila makan sendiri saja."

Gus Ikmal menatap putrinya dengan sendu, jelas sekali putrinya itu sangat sedih dengan penolakan dari Uminya. Hanya kata maaf yang bisa ia ucapkan di dalam hati, perubahan sikap Ashilla semua adalah karenanya, bukan hanya ia yang terkena dampaknya, tapi juga Aila putrinya.

Namun, di tengah-tengah kesedihannya yang melanda hati Aila, Ashilla tiba-tiba menawarkan untuk pergi ke taman. Ia hafal taman di dekat sini, apalagi cuaca sore hari seperti ini taman itu akan ramai oleh banyak pengunjung yang sekedar bermain dengan keluarga, dan orang terkasih mereka.

Ada yang datang kesana karena ingin menikmati berbagai stand jajanan dengan harga yang pas di kantong.

Tentu saja, tawaran Ashilla langsung di jawab senang dan antusias daru Aila.

"Mau umiii!!"

Gus Ikmal mengulas senyum, pemandangan dua perempuan cantik di hadapannya itu benar-benar menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar. Ya Allah, sekali lagi hamba ingin pemandangan ini tidak pernah berakhir.

"Baba ayo, habiskan makanan Baba. Ayo kita ke taman!" serunya.

"Iya sayang sebentar."

Aila beralih menatap sang umi yang baru saja menghabiskan makanan di piringnya. "Umi, nanti di sana ada penjual es krim?"

Ashilla mengangguk. "Ada sayang. Ada penjual donat juga lho."

Mata Aila langsung berbinar, donat dan es krim adalah makanan kesukaannya meski kerap mengeluh sakit gigi karena terlalu sering makan makanan manis, ia tetap mencintai dua makanan favoritnya itu.

****

Kini, mereka tiba di sebuah taman yang tampak ramai oleh pengunjung. Ada banyak anak-anak yang tengah berlarian bermain bola, ada para keluarga yang tengah makan bersama di atas rumput beralaskan kain, bak tengah berpiknik di hamparan taman yang hijau.

Pemandangan itu begitu sangat asri dan memanjakan mata setiap pengunjung. "Mau belu es krim Baba!!" Aila menunjuk sebuah stand es krim yang tidak terlalu ramai pembeli.

Aila tak hanya menggandeng tangan ayahnya, tapi juga sang ibu. Seolah ingin menunjukkan kepada semua orang, jika ia sudah memiliki ibu sekarang.

Ashilla menatap tangannya yang di gandeng tangan mungil Aila, hatinya berdesir, merasa bersalah karena beberapa hari ini bersikap acuh pada anak yang tidak tahu apa-apa ini. Aila yang selama ini merindukan kasih sagang seorang ibu, pasti merasa sangat sedih hanya saja anak itu begitu pandai tidak menunjukkannya secara terang-terangan.

Ia tersenyum di balik cadar, membalas genggaman tangan putrinya. Gus Ikmal yang melihat itu juga ikut tersenyum, setidaknya untuk saat ini biarlah ia menikmati kebersamaan yang terjalin, sebelum semuanya kembali ke keadaan semula.

"Mau beli rasa apa sayang?" tanya Gus Ikmal saat mereka sudah sampai di depan stand yang di tuju.

"Umi mau yang mana?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang ayah, Aila malah bertanya kepada sang ibu, karena ia dan sang ibu sering memakan es krim bersama.

Ashilla tampak berpikir beberapa saat. "Kalau strawbery, bagaimana?"

Aila langsung mengangguk. "Mauu." kini barulah ia beralih menatap sang ayah. "Baba, mau strawberry dua. Eh, tiga ding. Baba juga mau kan?"

Gus Ikmal tersenyum hangat. "Mau. Baba juga mau kok makan es krim."

"Pak, es krim strawberry ya tiga!" Gus Ikmal menyebutkan pesanannya.

Setelah menunggu, kini ketiganya duduk di kursi taman menikmati es krim milik mereka. Setelah itu Gus Ikmal membelikan balon sabun untuk Aila, ia bertugas meniupnya dan Aila akan berlari mengejar balon sabun yang terbaws angin, Ashilla sendiri memilih tetap duduk memperhatikan Aila yang sangat ceria itu.

Tiba-tiba air matanya mengalir, apakah ia akan sanggup meninggalkan anak ceria itu nanti?

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang