LIMA

15.4K 618 15
                                    

Pesan terakhir dari Gus Ikmal tentu membuat hati dan perasaan Ashilla tidak baik-baik saja, Ashilla bahkan menatap layar ponselnya dengan lekat, seraya menggigit bantalnya dengan gemas. Entah karena terbawa perasaan karena Ayana yang mengejeknya, entah karena terlena karena sikap baik Gus Ikmal, dan juga pesan yang di kirimkannya.

Perasaannya benar-benar mendadak menjadi tidak karuan.

Ikmal Fikri Hidayat

Bagaimana Ning?

Hatinya kembali berdebar, Aduuh bagaimana ini? Apa aku harus memberikannya saja?

Setelah berdebat dengan pikirannya, akhirnya Ashilla memberikan nomor ponselnya pada Gus Ikmal. Tidak apa-apa pikirnya, toh Gus Ikmal tidak ada niatan apa pun selain ingin mengenalnya, ya biarkan saja.

Tok ... Tok ...

"Dek? Ini Ummah."

Ashilla bangkit dari kasurnya, bergegas membuka pintu dan sosok Ummahnya muncul. "Kenapa Ummah?"

"Kamu tidur?"

Ashilla menggeleng, "Enggak Ummah. Memangnya kenapa?"

"Umma pikir kamu tidur, soalnya pintu kamarmu nutup. Pamali kalau tidur sekarang, sebentar lagi magrib."

"Iya Ummah." balasnya seraya memeluk sang Ibu.

"Kenapa ini tiba-tiba peluk Ummah? Pasti ada maunya ini. Iyakan?"

Ashilla menggeleng, kemudian melepaskan pelukannya dengan raut wajah sebal. "Iih Ummah. Pamali lho, ndak boleh suudzan!"

Ummah Aini terkekeh pelan. "Ya biasanya kan begitu. Kamu kalau lagi ada maunya suka peluk-peluk Ummah."

"Iiisshh." Ashilla berdesis.

"Ya maaf. Ngambekan banget, kamu kalau punya suami mesti dapet suami yang penyabar banget." godanya. Ummah Aini senang melihat wajah sebal Ashilla.

Ashilla berdeham. Apa Gus Ikmal orang yang penyabar?

Ashilla menggelengkan kepalanya dengan cepat, mengutuk pikirannya yang bisa-bisanya berpikir seperti barusan. Memangnya Gus Ikmal siapa? Sampai ia bisa berpikir kesana? Mereka saja baru kenal cukup dekat hari ini.

"Kenapa toh? Geleng-geleng kepala begitu? Kepala kamu sakit?"

"Ndak apa-apa Ummah hehe."

Ummah Aini mendelik. "Bisa ndak kamu tuh janagn suka aneh-aneh."

Ashilla terkekeh, bergelayut manja pada lengan sang ibu. "Aneh-aneh apa toh Ummah? Shilla perasaan biasa-biasa aja."

"Mas Mu itu mencak-mencak terus, kamu beliin kostum apa emangnya buat Irham, hm?"

"Hehehe, lucu habisnya Ummah."

Ummah Aini hanya menggelengkan kepalanya. "Wes toh ambil wudhu sana, sebentar lagi maghrib, kita jamaah sama Mbak santri di masjid. Jangan tidur lho ya,"

Ashilla melepaskan gelayutan manjanya  pada sang ibu, lalu mengangkat tangan melakukan hormat. "Siap Ummah!"

Ummah Aini tersenyum tipis, putrinya ini terlalu pecicilan. "Ummah tunggu. Jangan lama-lama lho."

"Inggih Ummah. Mbak Ayana ikut jamaah ndak Ummah?"

"Mbak mu, sama Mas Zidan ya shalat di rumah gantian jagain Irham. Jam delapan malam kan biasanya Irham baru tidur." papar Ummah Aini.

"Oke Ummah."

"Wes, cepet wudhu sana. Kalau lama Ummah tinggal!"

"Iih Ummah, jangan tinggalin Shilla. Iya Shilla wudhu sekarang!"

Wuuss ...

Secepat kilat Ashilla bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sementara Ummah Aini kembali menggelengkan kepalanya sebelum ia beranjak pergi dari pintu kamar sang putri.

*****

Beberapa hari kemudian ....

Sama seperti hari-hari biasanya, Aila semakin lengket dengan Ashilla. Masih juga bertanya apakah Ashilla mau menjadi uminya atau tidak. Namun Ashilla selalu mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.

Semenjak malam dimana Gus Ikmal mengirim chat di sebuah sosial media miliknya, komunikasi di antara mereka mulai terjalin. Gus Ikmal yang lebih dulu selalu memulai komunikasi, lama-lama ia menjadi nyaman dan sedikit berharap kepada pria berusia 32 tahun itu.

Gus Ikmal datang menjemput Aila, dalam jarak yang cukup jauh, Gus Ikmal tiba-tiba membuatnya terkejut.

“Ning. Ayo menikah.”

Tunggu, Ashilla mengerjapkan mata apakah ia tidak salah dengar? Beruntung keadaan cukup sepi karena anak murid yang lain sudah pulang bersama orang tua masing-masing.

"Gus. Ngapunten. Apa saya ndak salah dengar?"

Gus Ikmal menggeleng. "Ndak Ning. Sampeyan ndak salah dengar. Saya sudah bilang kan, jika saya ingin mengenal sampeyan lebih dekat. Bukankah maksud saya sudah jelas Ning? Jika saya mennginginkan hubungan yang lebih serius dengan sampeyan?"

Ashilla kembali berdeham, meski ia berbicara dengan sangat tenang barusan, percayalah hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Ini terlalu tiba-tiba. Gus Ikmal benar-benar selalu penuh kejutan dan tidak bisa tertebak.

Ia menelan salivanya dengan susah payah, beruntung ia memakai cadar jadi wajah panik dan gugupnya tidak akan terlalu kentara. "Apa panjenengan serius Gus?"

Gus Ikmal mengangguk mantap. "Saya serius."

Wajah Gus Ikmal begitu terlihat serius. "Bukan karena permintaan Ning Aila?" tanyanya, ia tidak mau jika Gus Ikmal melakukan semua ini karena paksaan dari Ning Aila yang sangat menginginkannya menjadi uminya.

"Bukan Ning."

Ashilla berdeham, dengan kedua tangannya yang saling bertaut. "A--anu Gus--" Ya Allah, mengapa ia tiba-tiba menjadi gugup seperti ini?

"Hm? Kenapa Ning?"

"Ah, anu. Saya rasa yang paling berhak merestui adalah keluarga Saya Gus. Mereka masih berhak terhadap diri saya."

Gus Ikmal mengangguk. "Nanti malam bisa?"

Lagi, Ashilla kembali terkejut. "Iya Gus?"

Gus Ikmal terlihat menahan tawa, dan itu membuat Ashilla malu. Gus Ikmal pasti berpikir jika saya ini orang yang memiliki gangguan pendengaran. Aduuh!!

"Nanti malam. Saya, Aila, dan Abi akan ke pondok pesantren Yai Muzaki." Paparnya.

Ashilla mengerjapkan kedua matanya, ia mendadak jadi linglung. Ini semua benar-benar terlalu mengejutkannya. Bagaimana bisa tiba-tiba hanya dalam hitungan hari Gus Ikmal bilang ingin melamarnya nanti malam?

“Bisa beritahu keluarga Ning untuk berkumpul nanti malam?”

Ashilla mengangguk. “Inggih Gus”

“Saya dan Alia pamit dulu nggih Ning. Assalamualaikum,”

“Waalaikumsallam” jawabnya lirih.
Perasaannya mendadak tidak keruan, entahlah rasanya benar-benar campur aduk.

Saking tidak percayanya, Ashilla sampai mencubit punggung tangannya sendiriemastikan jika dirinya tidak sedang tengah bermimpi. "Akh!" Ia memekik pelan, benar ini semua nyata.

Kyaa!! Ummah, Shilla mau di lamar. Bagaimana ini?

Aduuhh kenapa rasanya menjadi berdebar-debar sekali?

Ashilla [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now