DUA PULUH SATU

19.5K 812 53
                                    

Sampai di rumah sakit, Gus Ikmal berlari menggendong sang istri ke ruang UGD, ia tanpa sadar berteriak meminta dokter untuk segera memeriksa Ashilla, ia benar-benar sangat panik setengah mati.

Setelah membuat kehebohan disana, Gus Ikmal akhirnya tenang setelah Ashilla di berikan penanganan. Dokter yang memeriksa sempat menanyakan apakah Ashilla punya semacam trauma atau tidak. Karena mendengar penjelasan darinya, dokter menyimpulkan jika yang terjadi pada istrinya karena ada hal yang memicu traumanya kembali.

Ashilla hanya di berikan cairan infus, dan di pindahkan ke kamar rawat atas permintaan Gus Ikmal. Dokter juga meminta untuk Ashilla agar tetap tenang, tidak menyinggung apa pun yang akan memicu rasa traumanya.

Lagi-lagi pikirannya di hantui rasa bersalah yang besar. Shilla, trauma macam apa yang kamu miliki sampai menyakiti dirimu seperti ini?

Gus Ikmal mengenggam tangan Ashilla, mengusapnya pelan. Air matanya kembali jatuh melihat ada bekas cengkeramannya di pergelangan tangan Ashilla yang meninggalkan jejak kemerahan yang kontras dengan kulit putih sang istri.

Ia juga sudah menghubungi keluarga dari istrinya, dan Abah Muzaki mengatakan akan menjemput Abinya bersama Gus Zidan sebelum kemari bersama-sama. Gus Zidan sebelum itu juga langsung mengantarkan Aila yang menangis mencari-cari Uminya itu ke ndalem keluarganya. Setidaknya anak itu mulai agak tenang saat bersama Ayana dan Ummah Aini.

Tak lama, suara ketukan terdengar. Gus Ikmal melepaskan tangan sang istri dan bergegas membuka pintu, benar saja ada Gus Zidan, Abah Muzaki, dan Abinya yang baru datang dan Gus Ikmal mempersilahkan mereka semua untuk masuk.

Gus Zidan dan Abah Muzaki langsung menghampiri Ashilla yang masih belum sadarkan diri, masing-masing memberikan kecupan pada kening dan pelipis Ashilla yang masih terbalut kerudung instant.

Mereka seperti mengalami dejavu, seperti di tarik pada kejadian hari itu. Lagi, mereka melihat Ashilla seperti ini padahal tahun-tahun sebelumnya kondisi Ashilla sudah mulai membaik.

"Abah, Mas Zidan. Maaf, Ikmal ndak bisa menjaga Ashilla." Ia sadar, semua yang terjadi pada Ashilla berasal dari dirinya.

Gus Zidan masih duduk di sisi ranhang adiknya, memberi kecupan pada punggung tangannya yang berada dalam genggamannya. Rahangnya mengeras, melihat ada bekas kemerahan pada pergelangan tangan sang adik, ia mengira adiknya melakukan itu sendiri.

Tanpa tahu, jika keadaan rumah tangga Ashilla begitu penuh duri, dan ia tetap memilih untuk memeluk erat komitmen itu meski dirinya sudah sangat rapuh.

Abah Muzaki menghampiri menantunya, dan memberikan tepukan pada bahu Gus Ikmal. "Ndak usah minta maaf Ik. Iki bukan salahnya sampeyan. Abah yang minta maaf karena Ashilla ngerepoti sampeyan terus, terima kasih sampeyan wes nerima Ashilla kami yang ndak sempurna ini."

Gus Ikmal menatap sang mertua. "Maksudnya Abah ndak sempurna itu apa Bah?"

Abah Muzaki tersenyum tipis, menghela napasnya sebelum meminta menantu serta besannya itu duduk di sofa panjang yang tersedia di kamar rawat Ashilla.

"Dulu. Dulu sekali, Ashilla itu sangat menyukai hujan Ik. Bahkan sampai ia menginjak SMA, selalu suka bermain hujan. Tapi, sejak kejadian hari itu--"

Abah Muzaki kembali menghela napas, tatapan matanya menerawang jauh nan tampak berkaca-kaca. "Ashilla selalu seperti ini jika hujan datang. Seluruh dunianya berubah, tidak lagi sama setelah hari itu. Bahkan kami semua sempat kehilangan sosok ceriwis Ashilla."

"Apa yang terjadi hari itu Abah?" Gus Ikmal sudah tidak sabar ingin mengetahui semuanya, semua hal yang tak pernah di ketahuinya.

Ia dapat melihat kesedihan yang sangat mendalam pada setiap kalimat yang di lontarkan mertuanya, dadanya ikut mendadak terasa sesak. Apakah ia akan sanggup mendengarkan semuanya nanti?

Abah Yai mulai menceritakan semuanya tentang kejadian yang menimpa Ashilla hari itu, hingga rasa trauma dan depresinya Ashilla. Saking traumanya, Ashilla sampai home schooling karena jiwanya yang terguncang akan kejadian itu. Ashilla sempat takut melihat banyak orang. Itu sebabnya Gus Zidan begitu sangat menjaganya. Bertahun tahun Ashilla akhirnya perlahan membaik setelah konsultasi dengan psikiater.

Ashilla sempat kuliah meski dengan Gus Zidan yang terus menempel dengannya, dan beruntungnya Ashilla kenal dengan Ayana, sosok orang yang tepat untuk Ashilla.

Gus Ikmal tergugu di tempatnya, tidak menyangka bahwa semua itu menimpa Ashilla, ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Ashilla, dan ia malah menambah penderitaannya, dengan mengikat Ashilla dalam pernikahan yang menyakiti dirinya selama ini.

Air matanya meluncur dengan sangat deras, begitu pun dengan Abi Muslih. Mereka tidak pernah tahu bahwa di balik semua keceriaan Ashilla selama ini, ada luka mendalam yang ia peluk sendirian.

"Kamu ingat Ik, saat Shilla pulang ke rumah kami waktu itu?"

Gus Ikmal sama sekali tidak membuka suara, dadanya terlalu sesak karena mengetahui semua luka Ashilla selama ini. Ia bahkan mengutuk dirinya sendiri karena menjadi orang yang sangat jahat.

"Ashilla pergi bertemu Dokter Ira, meminta obat tidur karena katanya ia mengalami kusulitan tidur, entah apa pemicunya. Karena selama ini Ashilla sudah membaik, dan kembali ceria,"

"Ternyata penyebabnya karena ia melihat tiga orang pelaku kejahatan sudah selesai menerima hukumannya, mereka bebas, dan bisa menjalani kehidupan baru mereka. Tapi tidak dengan Ashilla, ia ketakutan setiap kali keluar rumah, takut bertemu mereka semua."

Abah Muzaki mengusap air matanya. "Ik, Yai. Kami sekeluarga minta maaf, karena merepotkan sampeyan dan Yai dengan keadaan putri kami. Mungkin ada rasa sesal, karena menikah dengan putri kami yang tidak sempurna ini."

Abi Muslih menggeleng. "Sampeyan iki bicara opo toh Yai? Ndak ada penyesalan apa pun. Kami semua ndak repot kok. Justru setelah mendengar semua ini, saya jadi ingin semakin melindungi Ashilla." ucapnya seraya menatap putranya yang masih menangis.

Sekarang, putranya itu menyesal'kan karena sudah menyakiti dan berlaku kasar pada istrinya sendiri.

"Yai, Ikmal. Ketika Shilla sudah sadar, jika boleh kami ingin membawa dan merawatnya di rumah kami saja. Bukan, saya bukannya ndak percaya dengan Yai dan Ikmal. Saya tidak tenang jika harus meninggalkan Shilla dengan keadaan yang masih terguncang seperti ini."

Abi Muslih dan Gus Ikmal mengerti. "Inggih Abah. Ikmal, dan Aila juga akan sering-sering datang menjenguk nanti."

Gus Ikmal menatap tubuh istrinya yang masih terbaring tak berdaya. Saya minta maaf Shilla. Saya adalah suami, dan manusia yang paling jahat di dunia ini.

Ia memang tidak tahu seberapa dalam luka yang di simpan Ashilla selama ini. Tapi ia mengetahui satu hal, Ashilla adalah wanita hebat. Ia menyimpan lukanya sendirian, dan sudah berusaha keras untuk pulih meski jalannya tidaklah mudah.

Sekiranya, apakah Ashilla akan sudi memaafkannya?

Mulai hari ini, ia bertekad untuk memperbaiki semuanya. Bukan karena merasa kasihan dengan apa yang terjadi pada Ashilla dulu, tapi karena ingin menebus semua kesalahannya kepada Ashilla, istrinya sendiri.

Gus Ikmal terus menangis seraya menggenggan tangan istrinya yang belum juga sadarkan diri. Seribu kata maaf yang ia lontarkan, tentunya tidak akan pernah cukup untuk menebus semua penderitaan yang ia berikan pada Ashilla.

Ia bagai menabur air garam di atas luka Ashilla yang menganga, bukannya menghadirkan kebahagiaan ia justru malah menambah luka itu.

Ia bukan hanya mempermainkan perasaan Ashilla, namun juga mempermainkan kalimat ijab kabul pernikahannya. Melalaikan tugasnya sebagai suami, dan imam untuk istrinya selama ini.

Ya Allah ....

Gus Ikmal berkali-kali mengucap istigfar di dalam hati, meratapi betapa banyaknya kesalahan yang ia buat selama ini.

Ia bahkan tidak pantas di sebut manusia.

Ashilla, saya mohon cepatlah bangun. Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan, tentang saya yang selana ini terus menyakiti kamu. Saya benar-benar sangat menyesal Ashilla ....

Ashilla [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now