TIGA

15.5K 702 5
                                    

"DADAH IBU CILLAAAA!!!"

Ashilla membalas lambaian tangan Aila saat mereka berpisah. Ashilla di amtarkan ke sekolah kembali oleh Gus Ikmal karena mobil miliknya masih berada di sekolah.

Diin ... Diin

Gus Ikmal menekan klakson mobilnya saat mobil mereka perlahan berjalan meninggalkan area sekolah, Aila juga langsung masuk ke mobilnya dan bersiap menuju arah pulang.

Semoga Mas Zidan ndak marah.

Setelah mengemudikan mobilnya dalam waktu yang lumayan, Ashilla sampai di pondok pesantren milik Abahnya. Ia segera berlari masuk ke dalam rumah, namun tidak menemukan sang ibu dan juga ayahnya di rumah.

Perasaannya mendadak cemas, ia takut Mas Zidan ada di rumah dan memarahinya.

"Duuh, senangnya yang habis pulang makan sama Gus Ikmal."

Mata Ashilla melotot, ia menutup mulut kakak iparnya dengan telapak tangan miliknya. "Ssstt. Mbak, jangan berisik. Nanti kalau ada yang dengar bisa salah paham." katanya dengan kedua mata yang melirik panik.

Ayana melepaskan tangan Ashilla yang membekapnya. "Tenang saja. Mas Zidan belum pulang, lagi ada meeting sama Gus Malik. Kamu punya hutang cerita lho, kenapa tiba-tiba bisa makan bareng sama Gus Ikmal!"

Ashilla meringis. Sudah ia duga, kakak iparnya ini pasti akan mendesaknya perihal soal ia yang makan bersama Gus Ikmal. "Irham mana Mbak?"

Ayana memukul bahu Ashilla, hingga sang empunya meringis. "Sakit Mbak!" serunya.

"Ndak usah mengalihkan pembicaraan kamu. Ayo, jelaskan sama Mbak. Atau--Mbak kasih tahu Mas Zidan--"

Ashilla mengerang kesal. "Iya. Iya. Shilla cerita. Tapi jangan disini, di kamarnya Mbak aja gimana?"

Ayana mengangguk. "Boleh, boleh sekali. Ayo!" Ayana langsung menarik tangan Ashilla dan menyeretnya masuk ke dalam kamar, dimana Irham sedang terlelap di tempat tidur khusus miliknya sendiri.

Ashilla dan Ayana mengambil duduk di atas ranjang Ayana. "Ayo, katanya mau cerita!" desak Ayana.

Demi tuhan. Kakak iparnya ini benar-benar sangat tidak sabaran sekali!

"Mbak. Shilla baru dateng lho, ndak ada inisiatif kasih Shilla minum atau--"

"Oohh, sebentar." Ayana berdiri mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja rias, seketika kedua mata Ashilla melotot.

"Arrrggh! Iya. Iya. Mbak jahat banget sih sama Shilla."

Ayana memasang wajah datar, padahal hatinya sedang tertawa melihat kekesalan dan ketidakberdayaan adik iparnya. "Ya sudah. Mau cerita apa enggak nih?"

"Iiisshh! Oke Shilla cerita."

Tidak ada pilihan, daripada ia kena marah Mas Zidan karena pulang terlambat, lebih baik ia menceritakan alasannya makan bersama Aila dan Gus Ikmal kepada kakak iparnya. Toh, kakak iparnya ini bukan orang yang ember, alias mudah membocorkan rahasianya.

"Begitu Mbak ceritanya." Ashilla bernapas lega setelah menceritakan semuanya.

Ashilla memicing curiga kepada Ayana yang menatapnya dengan jahil. Tuh kan, pasti Mbak Ayana mau mengejek aku.

"Jadi, kapan mau menikah?"

Plak!

Alih-alih merasakan sakit karena pukulan Ashilla, Ayana malah tertawa.

"Astagfirullah Mbak! Menikah apanya? Kami saja ndak ada hubungan apa-apa kok. Kan, males iih mikirnya malah kemana-mana." sungutnya.

Ayana terkekeh, mencolek dagu Ashilla seraya tersenyum menggoda. "Halaah, ndak ada hubungan tapi kok bisa makan bareng?"

Astagfirullah ... Ashilla menahan kekesalan dalam hatinya. Sungguh tangannya gatal sekali ingin membekap mulut sang kakak ipar. "Mbak! Mbak kok lama-lama mirip Mas Zidan sih? Sama-sama nyebelin!!"

Ayana terbahak. Melihat wajah Ashilla yang sudah sangat kesal, ia menghentikan tawanya. "Oke. Oke. Tapi bener, kan kamu makan sama Gus Ikmal?"

"Iiisshh!! Yang benar itu makan sama Gus Ikmal, dan Aila juga. Mbak serius deh, tangan Shilla udah gatel banget pengen karungin Mbak."

"Mbak bilangan Mas Zidan lho."

"Arrgh! Tau ah males. Mbak nyebelin."

"Eh, tapi dek . Kamu yakin, itu bukan modusnya Gus Ikmal aja?"

"Astagfirullah Mbak!"

Ayana terbahak, Ashilla melemparkan sebuah bantal kepada kakak iparnya, dengan menghentakkan kakinya ia memilih pergi ke kamarnya daripada jadi bulan-bulanannya ibu dari satu anak itu.

****

Pondok pesantren Darul Hikmah.

"Abi..."

Gus Ikmal menghampiri sang Ayah yang tengah duduk di sofa ruang tamu seraya membaca sebuah buku tebal di tangannya. Abah Yai Muslih, menutup bukunya dan menatap sang putra yang mengambil duduk di sampingnya.

Pemilik pondok Darul Hikmah itu membuka kacamata bacanya, dan meletakkannya di atas meja. "Aila mana Ik?" tanyanya, saat sadar suara cucu satu-satunya tidak terdengar.

"Baru saja tidur Abi, setelah mengerjakan PR dari sekolah." jelasnya.

Abah Yai Muslih mengangguk, seraya menghela napas. Dengan kedua mata yang menerawang jauh, ia mulai membuka topik pembicaraan. "Abi ternyata sudah sangat tua ya Ik. Putra semata wayang Abi bahkan sudah memiliki anak, dan memanggil Abi dengan sebutan Eyang."

Gus Ikmal hanya diam, ia paham kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Karena sudah sering Abinya menginggung statusnya yang sudah lima tahun menduda.

"Kamu dan Aila dari mana toh? Kenapa pulangnya terlambat?"

"Aila minta mampir membeli makan dulu. Jadi, kami makan siang di luar Abi."

Abah Yai Muslih mengangguk. "Sudah luma tahun ya, sampeyan sendirian? Aila juga yang di tinggalkan sejak bayi oleh ibunya sudah tumbuh besar, dan ceria sekali. Ik, sampeyan apa ndak mau menikah lagi?"

Gus Ikmal menghela napas. Pembahasan ini lagi. Ia sudah sangat bosan sebenarnya tentang topik pembicaraan ini. Tapi selama dalam perjalanan ia sudah mantap dengan pilihannya.

"Ikmal sebenarnya ada yang ingin di bicarakan dengan Abi."

"Apa itu Ik? Apakah soal--"

"Inggih Abi. Ikmal mau minta pendapat Abi soal seseorang yang Insya Allah akan menjadi istri, dan Umi untuk Aila."

"Alhamdulillah .... " wajah Abah Yai Muslih tampak begitu senang.

Gus Ikmal hanya perlu memastikan jika Ayah serta putrinya bahagia. Apa pun akan ia lakukan untuk kebahagiaan mereka.

"Ik. Kalau boleh tahu siapa wanita itu Ik?"

Ah, Abah Yai Muslih sangat penasaran dengan calon menantunya. Kira-kira Ning dari pesantren mana yang berhasil menarik hati putranya.

"Ning Ashilla. Putri Abah Yai Muzaki, pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah."

Wajah Abah Yai semakin sumringah. Ia sangat mengenal Yai Muzaki, tentu saja dirinya semakin sangat senang akan berbesan dengan keluarga Yai Muzaki. Terlebih Ning Ashilla sudah pasti adalah wanita yang baik untuk mendampingi sosok Ikmal, sekaligus Umi untuk Aila.

"Masya Allah. Abi kenal baik dengan Yai Muzaki. Ik, insya Allah Ning Ashilla wanita yang baik."

Senyum Gus Ikmal mengembang. "Abi setuju?"

"Inggih. Abi setuju, Aila juga sangat menyukainya kan? Sampai setiap pulang sekolah selalu menceritakan tentang ibu guru Chilla." Ia tersenyum ketika mengingat wajah sang cucu yang sangat antusias membicarakan soal Ning Ashilla, bahkan beberapa kali bilang ingin Umk seperti Ibu Cilla.

"Tapi Ik. Sampeyan menikahi Ning Ashilla bukan karena permintaan Aila, kan?"

Deg!

Pertanyaan sang Ayah tepat menembus ke ulu hatinya. Lalu, apakah ia harus jujur?

Ashilla [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now