DUA PULUH DUA

19.3K 766 36
                                    

Perlahan, kedua netra yang memejam itu terbuka. Kedua matanya tampak bergerak menyesuaikan penglihatannya yang tampak masih sangat buram. Seperkian detik, akhirnya jelas sudah penglihatannya.

Ia menyadari jika ia tengah berada di sebuah kamar inap di rumah sakit. Ah, lagi-lagi di rumah sakit. Batinnya.

Ia menatap tangannya yang terasa berat, ternyata ada tangan lain yang menggenggamnya, tatapannya beralih menatap wajah sang pemilik tangan yang menggenggamnya.

Pria itu adalah Gus Ikmal, ia tampak tertidur lelap di samping ranjangnya, dengan posisi membungkuk, dan kepala yang berada di atas ranjang rawatnya.

Ashilla tersenyum miris, Gus Ikmal masih berakting karena ada Abah, dan Mas Zidan, bukankah ia harus berperan menjadi suami yang baik?

"Abah .... "

Alih-alih memanggil Gus Ikmal yang dekat dengannya, ia malah memanggil Abah Yai Zaki, sang Ayah yang duduk di sofa bersama Gus Zidan. Seraya melepaskan tangannya dari genggaman tangan Gus Ikmal yang tengah tertidur dalam posisi duduk.

Abah Yai Zaki dengan sigap langsung berjalan cepat ke arah sang putri yang baru saja sadarkan diri. “Inggih sayang. Anak cantik Abah kenapa Nak? Ada yang sakit? Hm?”

Melihat sang Ayah kedua mata Ashilla berkaca-kaca. “Maaf nggih Abah. Shilla lagi-lagi membuat Abah dan Mas Zidan khawatir. Maaf ya, Shilla selalu merepotkan Abah ... “

Abah Yai Muzaki tersenyum lembut dan mengecup kening sang putri cukup lama, sebelum ia menghapus air mata Ashilla yang perlahan turun. “Kamu ini bicara apa sih nduk? Abah ini sama sekali ndak merasa di repotkan. Wes, sekarang jangan pikirkan apa pun nggih? Kamu harus sehat,”

Melihat sang adik sudah sadar, Gus Zidan juga mendekat berdiri di sisi kanan Ashilla, sedang sang Ayah di sebelah kiri. Keduanya senang melihat Ashilla sudah siuman. “Dek, ada yang sakit ndak?” tanyanya.

Ashilla menggeleng. “Shilla haus Mas .... “ ucapnya parau. Seraya melirik Gus Ikmal yang masih terlelap di sisi tubuhnya.

“Ini minum dulu. Sebentar, Mas naikkan sedikit ya kepala ranjangnya biar kamu bisa duduk,” Ashilla mengangguk lemah, dan dengan di bantu Gus Zidan ia meminum air melalui sedotan.

“Sudah Mas,” ucapnya. Gus Zidan lantas menaruh kembali botol air minum tersebut ke atas meja.

Abah Yai Muzaki mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Gus Ikmal sejak tadi ndak beranjak dari posisinya. Ia terus menunggu kamu sampai ketiduran seperti itu. Ia sangat mengkhawatirkan kamu nduk."

Ashilla hanya tersenyum getir. Ia juga masih ingat, jika sebelum kesadarannya hilang, Gus Ikmal adalah orang yang membawanya ke rumah sakit.

"Gus Ikmal terus menangis saat melihat kamu di bawa ke ruang inap Dek." imbuh Gus Zidan.

Ashilla lagi-lagi tidak memberikan tanggapan apa pun. Hanya kedua matanya yang berkaca-kaca menatap ke arah Gus Ikmal, ia akan sangat terharu dengan apa yang di lakukan suaminya itu, jika saja selama pernikahan mereka Gus Ikmal tidak pernah menyakitinya.

Abah, dan kakaknya ini tidak tahu jika semua itu hanyalah sandiwara. Gus Ikmal, menantu yang di banggakan oleh Abahnya ini hanya tidak ingin jika pernikahan mereka sebenarnya sudah hancur.

Pernah dengar istilah “Kepercayaan itu mahal harganya." Ashilla sudah berada di titik kehilangan kepercayaan terhadap suaminya. Suami yang dulu ia pikir akan sangat menyayanginya seperti Abah dan Mas Zidan-nya, ternyata malah menyakiti dan mendorongnya terperosok ke dalam jurang berkali-kali, meninggalkannya menderita dan menangis di dalam jurang itu sendirian.

Mungkin dulu, ia selalu berdebar saat melihat Gus Ikmal dan wajahnya yang tertutup cadar selalu merona merah dengan semua perhatian Gus Ikmal. Namun, sejak malam pengantin ia sudah hancur. Kini, ia telah mati rasa. Ia bertahan hanya karena sangat menyayangi Aila, sosok anak yang sudah seperti cahaya yang menerangi kegelapan dan kesendiriannya dalam jurang penuh ranjau yang di ciptakan Gus Ikmal.

"Kamu beruntung dek. Mendapatkan Gus Ikmal yang sangat menyayangi kamu, seperti kami menyayangimu."

Ashilla memejamkan matanya beberapa saat, mendengar kalimat yang terlontar dari kakaknya itu.

Beruntung katanya?

Semua itu bohong. Pria yang tengah mereka sanjung itu adalah pembohong ulung, dan pelakon sandiwara yang hebat.

Gus Ikmal terbangun dan matanya melebar saat melihat Ashilla sudah siuman dan ia melirik ke genggaman tangannya yang terlepas. “Sayang, apa ada yang sakit?” tanyanya.

Ashilla tersenyum tipis, merasa muak dengan sandiwara pria itu. Sedangkan Gus Zidan dan Abah Yai Zaki malah mengulum senyum. “Abah. Lapar tidak?” Ashilla melotot saat Gus Zidan melempar kode kepada sang Ayah.

“Wah, iya Mas. Abah juga lapar,”

“Abaaaah....”  Ashilla merengek. Gus Zidan dan Abah Yai Zaki terkekeh.

“Abah tinggal dulu nggih? Kalau ada apa-apa bilang saja sama Gus Ikmal,”
Ashilla mencebik saat dua pria yang ia cintai itu berjalan keluar meninggalkan dirinya yang hanya bersama Gus Ikmal.

"Shilla, apa yang kamu rasakan? Apakah ada yang sakit?"

Ashilla benar-benar muak! Ia menoleh dan menatap suaminya dengan tajam, tatapan yang sebelumnya tidak pernah ia tunjukkan selama ini. Ia muak! Ia lelah karena harus menjadi istri yang baik, sementara suaminya sendiri malah memperlakukannya dengan semena-mena.

"Hentikan Gus. Abah dan Mas Zidan sudah pergi, njenengan ndak perlu berpura-pura lagi!"

Dada Gus Ikmal mencelos, tatapan dan kalimat yang terlontar dari bibir Ashilla begitu sarat akan kebencian dan rasa muak.

Lihat Ikmal, semuanya berubah karena perbuatanmu!

"Pura-pura? Shilla, saya sedang tidak--"

"Kenapa? Njenengan merasa kasihan setelah melihat saya seperti orang gila saat njenengan membawa saya ke sini?"

"Shilla ... "

Sungguh, Ashilla salah paham. Bukan itu maksudnya!!

Ashilla terkekeh hambar, tatapannya masih menusuk jantung Gus Ikmal meski tidak setajam tadi. "Saya tidak perlu di kasihanu Gus. Tidak perlu. Saya sudah cukup mendapatkan cinta dari Abah dan Mas Zidan. Tidak perlu njenengan kasihani."

Gus Ikmal mengusap wajahnya, "Demi Allah Ashilla. Saya sedang tidak berpura-pura, juga sedang mengasihani kamu. Saya hanya ingin memperbaiki hubungan kita yang sudah salah sejak awal, karena kesalahan saya!" serunya dengan nada yang terdengar begitu frustrasi.

Ashilla tampak tertawa, seraya memegangi perutnya. Memperbaiki hubungan katanya? Hah. Apa kepala Gus Ikmal ini baru saja terbentur?

"Njenengan ini lupa? Njenengan sendiri yang bilang jika tidak mencintai saya sedikit pun. Njenengan juga menikahi saya karena Aila menginginkan saya menjadi Uminya."

Gus Ikmal menundukkan kepalanya dan menangis. Bukan, bukan karena ia sedang bersandiwara. Tapi karena kesalahan yang sudah banyak menyakiti hati istrinya, Ashilla. Seharusnya sejak awal ia memang memanggil Ashilla dengan sebutan “Istri” dan tidak menuruti ego sendiri dan menganggap Ashilla sama seperti Flora. Bahkan Ashilla sama sekali tidak pernah menggunakan uang yang dia kirim selama ini.

Ia bertanya-tanya, dengan apa Ashilla membeli segala keperluan rumah, termasuk stok sayuran dan segala macamnya? Sedang kan ia sendiri tidak pernah mengajak Ashilla untuk sekedar pergi belanja kebutuhan bulanan.
Ia semakin tergugu, betapa dzholimnya ia kepada istrinya selama ini. Bahkan setelah apa yang ia lakukan Ashilla dengan senang hati mengurus segala kebutuhan Aila, mencurahkan seluruh waktunya hanya di rumah.

Ashilla juga mengurus Abinya dengan baik, sampai Abi Muslih terus memujinya setiap hari, mengatakan dirinya begitu beruntung mendapatkan Ashilla. Namun, ia tetap memilih menutup mata dan telinga, dan sekarang ia baru menyadari semuanya. Menyadari, bahwa ia memang sangat beruntung.

Namun, apakah setelah semua luka yang ia berikan Ashilla akan sudi memaafkannya? Gus Ikmal bersumpah ia  rela berlutut di bawah kedua kaki Ashilla, jika itu membuatnya bisa di maafkan?

Ashilla [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now