bagian 44

36.9K 3.4K 2.1K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
[Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad]

....
"Perempuan tidak pernah kehilangan kecantikan nya, hanya saja setelah menjadi seorang ibu, kamu masih cantik. Tapi cantiknya, sudah memindah-memindah. Dari wajah ke hati."

—Ilham Syakir Vernando—
......

Hidup terus berjalan tanpa henti, roda kehidupan terus berputar tanpa henti. Jantung terus berdetak mengompa darah. Begitu pun dengan kehidupan Aisyah, atas rahmat Allah, ia masih diberi umur untuk hidup menikmati nikmat dunia.

Perut buncit itu, nampak sangat besar untuk ukuran badan Aisyah yang tak ideal di umur nya. Aisyah menghela nafas panjang, menatap dirinya lewat pantulan cermin.

"Jangan kelamaan cermin, nanti cahaya wajahnya hilang loh," tegur gus Ilham.

Aisyah membalikkan badannya menatap sang suami yang duduk di sofa sambil membaca kitab. "Kenapa ya, semenjak hamil, kecantikan Aisyah berkurang?"

"Kata siapa?" Tanya Gus Ilham menutup kitabnya dan menatap istrinya seraya tersenyum lebat.

"Dari pandangan Aisyah aja. Rasanya nggak cantik lagi."

"Masih cantik kok."

"Masa sih, badan Aisyah makin lebar, nggak seksi lagi. Kamu masih suka nafsu nggak, lihat Aisyah?"

"Astaghfirullah. Filter dikit ucapannya," tegur Gus Ilham, ia menggeleng pelan mendengar ucapan frontal istrinya.

"Ngaku aja sih, apa susahnya," gumam Aisyah duduk di bibir kasur. "Jadi ibu-ibu mah susah. Pekerjaan banyak, harus dituntut rawat diri lagi, biar suami betah."

Gus Ilham beranjak dari duduknya, dan menghampiri sang istri yang kini kandungan sudah berusia delapan bulan. Tinggal menunggu hari, keluarga cemara ini akan kedatangan satu anggota baru.

"Kamu cantik kok," ucap Gus Ilham mengecup punggung tangan sang istri.

"Perempuan tidak pernah kehilangan kecantikan nya, hanya saja setelah menjadi seorang ibu, kamu masih cantik. Tapi cantiknya, sudah memindah-memindah. Dari wajah ke hati."

"Tapi kamu beneran masih, itu kan, kalau lihat Aisyah?" Tanya Aisyah ragu.

Gus Ilham menatap istrinya dari atas sampai bawah. Kemudian tersenyum simpul.  "Masih sayang."

Aisyah menghela nafas lega. "Syukurlah."

"Kamu nggak usah, ikut upacara besok ya?" Bujuk Gus Ilham. Mengingat besok adalah hari santri, gus Ilham mengajak santri dari pesantren lain dan juga alumni santri-santri yang pernahmenjadi bagian keluarga besar Hidayatullah, untuk ikut ucapan disini.

Hal itu tentu saja membuat Aisyah terundang. Mengingat memang dia juga alumni santriwati di pesantren Hidayatullah. Sayangnya, keadaan Aisyah yang berbadan dua, tidak memungkinkan untuk nya ikut upacara. Gus Ilham pun, sangat melarang. Namun Aisyah tetep kekeh untuk ikut.

"Aisyah kan, juga santri. Berarti besok, hari Aisyah juga." Ucap Aisyah.

"Iya sayang, aku tau. Tapi nggak usah ikut upacara juga. Cukup di rumah. Nanti malam, baru aku ajak nonton bareng sama santri-santri yang lain. Tapi kalau untuk upacara aku nggak izinin."

"Nggak mau! Aisyah tetap ikut. Lagian cuma hamil, bukan sakit parah juga," ucap Aisyah lagi.

"Cuma hamil?" Tanya Gus Ilham tak habis pikir dengan ucapan istrinya. "Kamu hamil besar, sayangku. Nanti kalau kamu capek gimana? Belum lagi Arsya Arsyi juga pasti ikut."

Aisyah Aqilah || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang