29

1.5K 205 12
                                    

Pusing di kepala Binar sudah berangsur reda. Beruntung masih ada tukang yang tinggal dalam bangunan kayu sederhana yang ada di sudut halaman depan rumah. Mereka punya alat memasak sederhana dan Gata meminta segelas teh hangat di sana.

Usai sarapan ia buat istirahat sebentar. Batal sudah rencana jalan-jalan pagi menikmati udara segar kawasan perbukitan.

"Aku pamit, ya. Jaga istrimu, Ta. Kalau perlu balik aja ke kota, kasihan kalau butuh obat-obatan jadi jauh."

Binar mendengar pesan Bumi saat akan meninggalkan rumah. Gata mengantar kakanya ke luar sedangkan ia tidak diperbolehkan kemana-mana.

Ketika pria itu kembali, Binar langsung bertanya tentang hal yang membuatnya penasaran. "Kenapa kamu bisa ada di rumahku waktu itu, Mas?"

"Ngikutin Papi," jawab Gata. Ia menggendong Binar dan memindahkan di kasur. "Mau nyari bukti yang bisa buat dia nggak meremehkanku."

Binar mengernyit.

"Aku udah pernah cerita 'kan gimana masa kecilku yang cuma dianggap sampah sama Papi."

"Ya. Tapi kupikir nggak sampai sekejam itu, Mas. Sampai diinjak gitu, loh! Ya Allah."

"Atmadja emang sekeji itu dulu." Gata tidur berbantal paha Binar.

"Kasihan," ucap Binar melas dan mengelus kepala suaminya. "Pasti masa kecilmu berat banget."

"Banget. Makanya aku sampai terjebak sama narkoba. Aku berhenti terapi ARV, pengen nyerah aja sama hidup."

"Kok masih hidup sampai sekarang? Kenapa?"

Pria itu langsung melirik sinis. "Pertanyaanmu nggak bisa diubah? Kesannya nyesel banget lihat aku hidup."

"Dih, gitu doang masa direvisi, Mas?"

Gata tersenyum kecil lalu menatap langit-langit lalu menjawab, "Karena cinta. Aku mau hidup lebih lama lagi biar bisa bersama orang yang kucintai."

"Mbak Janna?"

"Iya."

"Kamu tetep hidup malah Mbak Janna diambil Mas Bumi!" ucap Binar tergelak memenuhi ruangan.

"Iya. Sialan emang si Bumi. aku yang paling effort, dia yang nikmatin," gerutu Gata.

"Belum ikhlas, nih?" goda Binar. Menusuk-nusuk pipi Gata dengan jari telunjuknya.

"Pada masanya nggak ikhlas, Zie. Sekarang ya udah nggak berasa. Biasa aja."

"Kenapa sekarang suka panggil aku gitu, sih? Nggak Binar aja?" protes Binar.

"Ya, 'kan itu namamu!"

"Tapi aneh rasanya kalau kamu panggil gitu!"

"Aneh, kenapa?" selidik Gata. Ia sampai duduk lagi dan menatap Binar dengan picingan menggoda. "Ada yang berdebar-debar di hatimu kalau aku panggil kamu Lizzie?"

"Dih, ngaco!"

Bibir Gata menyebik. "Kalau dipanggil, Sayang?"

"Apa lagi, coba!" Binar memutar malas bola matanya.

"Istriku?"

Binar tidak bisa menahan senyum dan langsung menundukkan kepala. Pria itu malah menarik dagunya hingga mereka kembali bertatapan. Mata jahil itu membuat Binar ingin sekali memalingkan wajah, tetapi Gata terus menahan.

"Lizzie, istriku ... Habibatinya Gata ... mm ... mau apa lagi?"

"Apa-an, sih!" ucap Binar mencoba mengelak.

Pria itu malah tertawa dan mengecup bibirnya gemas.

"Mas! Ih!" pukul Binar karena Gata semakin sering melakukan itu tanpa izinnya.

Last Project [END- TERBIT]Where stories live. Discover now