13

1.7K 216 33
                                    

Rasa penasaran yang tercipta oleh ucapan Bustara membawa Gata dalam pusaran Amarah yang berselimut rasa bersalah pada Binar. Ia sama sekali tidak tahu jika sebuah tembakan adalah trigger ketakutan wanita tersebut. Entah itu sebuah trauma atau sekadar ketakutan yang berlebihan.

Gata membawa istrinya untuk pulang. Selama perjalanan, ia belum mendapati Binar siuman. Lumayan resah dan ingin Gata bawa ke rumah sakit, tetapi Loni menyarankan untuk pulang lebih dulu dan merawatnya.

Sampai di rumah, Gata membawa Binar ke kamar. Ia rengganggkan bagian pinggang celana Binar. dilepasnya outer dan terakhir hijab wanita tersebut agar bisa bernapas lega.

Namun, tangan Gata membeku saat jemarinya baru mencabut jarum pentul di bawah dagu. Ia melihat sebuah garis lumayan panjang di sisi bagian kiri hingga hampir ke bagian tengah.

Entah karena tertutup rambut atau memang Gata yang tidak perhatian, jadi ia baru sadar ada bekas luka sayatan di leher tersebut.

"Ugh!"

Suara lenguh kesakitan itu menarik perhatian Gata. Binar sudah mulai bergerak meski matanya masih tertutup. Kedua tangannya perlahan menekan kepala.

"Sakit," keluhnya samar.

"Jangan buka mata dulu. Tunggu sampai kamu benar-benar tenang biar nggak sakit," ujar Gata.

"Bi! Bi Nur! Tehnya udah jadi belum?" teriak Gata menagih pesanannya sebelum masuk kamar tadi. Namun mulutnya langsung dibungkam Binar.

"Berisik!" protes wanita yang sudah membuka mata. "Bikin kepalaku makin pusing!"

Gata kaget karena si Bawel yang ia kenal sudah kembali. Wanita itu membuka mata sambil duduk meski terlihat menahan sakit di kepala.

"Kepalanya sakit?" tanya Gata dan mendapat anggukan dari Binar. "Dipatahin aja, gimana? Biar nggak sakit?"

"Ish!" Binar menepuk paha Gata yang cekikikan. "Baru aja mau terharu udah dikasih perhatian," gumamnya masih memijit kening.

Gata hanya tersenyum miring dengan mendengkus pelan. Kemudian ia bantu memijit kening Binar dengan hati-hati.

"Kalau takut sama suara tembakan, kenapa maksa ikut?" tanya Gata.

"Yang takut juga siapa?"

Jawaban Binar membuat Gata makin bertanya-tanya. "Kamu sehisteris itu, sampai pingsan, dan kamu bilang nggak takut?"

Binar diam sejenak, terlihat sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab, "Sekarang aja aku bingung. Kenapa bisa sampai kayak gitu. Aku takut sama letusan balon. Sekadar kaget doang, nggak kayak tadi. Rasanya ... aku lagi diburu sesuatu yang menakutkan."

"Diburu apa?" Gata coba mencari tahu dengan hati-hati.

"Nggak tahu." Binar mengangakat bahu dengan wajah yang juga kebingungan. "Tapi ... sesuatu yang menakutkan."

Cara bicara Binar dan bahasa tubuhnya terlihat santai seperti biasanya. Gata sempat kebingungan dengan hal tersebut. Seakan mendapati dua orang yang berbeda dalam satu tubuh. Namun, pemikirannya itu terbantah oleh fakta yang ada.

Binar hanya berusaha bersikap biasa saja di depannya. Tangan yang gemetar dan terus diremas beberapa kali seakan menvalidasi pikiran Gata.

Pada saat Nuriah datang membawa sebuah teh hangat pun hanya diletakkan di atas nakas. Tidak langsung diminum. Wanita itu hanya terus berkelakar dengan kejadian tadi.

"Aku akan pergi sebentar. Kamu nggak apa aku tinggal sendiri?"

"Mau kemana? Nemuin orang gendut tadi?" Binar balik bertanya.

Last Project [END- TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang