05

2.1K 241 6
                                    

Entah sudah berapa puluh kali Gata wara wiri Jakarta-Malang tahun ini. Ia bukan sekadar membakar uang untuk perjalanan kisah cinta, tetapi juga memperbaiki perusahaan GiNus di Malang.

"Dia udah jelas-jelas tahu tentang penyelewengan dana beasiswa itu, Pi! Tiga bulan aku di sini, kebuka semua boroknya. Dia main-main sama duit perusahaan, Pi! Kenapa masih dipertahankan!" amuk Gata di sebuah ruangan yang disediakan khusus jika ia berkunjung ke kantor GiNus di Malang.

Atmadja yang duduk di sofa, terlihat santai menyesap teh hangat yang baru disuguhkan oleh Loni, sekretaris Gata.

"Lihat, nih, Pi! Lihat!" Gata menggebrak satu per satu berkas di atas meja. "Aku udah pernah beresin ini. Udah wanti-wanti, tapi apa? Keulang lagi, dong!" Ia bersandar kesal di sofa.

Belum mendapat respon dari papinya dan Gata kembali membungkuk ke depan, melirik Atmadja yang benar-benar tidak terlihat resah kehilangan uang miliaran rupiah.

Masih mau terbuka mulutnya melanjutkan protes, pintu ruangannya diketuk dan munculah pria paruh baya. Parasnya garang, bibirnya mengulas seringai tipis. Saat duduk, kancing-kancing kemejanya sedang berupaya menahan desakan dari perut.

"Sedang melaporkan temuan Anda ke Pak Atmadja, Pak Gata?" tanya pria itu sambil mengusap misai tipisnya.

"Saya jadi penasaran, apa yang membuat Anda bisa sepercaya diri itu datang kemari setelah kebusukan Anda kembali terungkap, Pak Bustara."

Pria bernama Bustara itu menatap Atmadja sejenak lalu kembali pada Gata. "Apa saya akan seberani ini jika tidak ada orang yang melindungi saya, Tuan Muda?"

Gata tidak menyangka dengan apa yang dia lihat. "Papi yang ngelindungi dia? Papi tahu dia merugikan perusahaan dan papi malah ngelindungin, dia?"

"Iya. Biar dia jadi urusanku. Kamu fokus aja sama pusat lagi."

"Pi!"

"Sst ...." Atmadja mengerjap.

"Sampai kapan mau lindungin dia? Orang ini penyakit di perusahaan kita, Pi!"

"Papi tahu ... biarin aja, udah. Ntar juga mati-mati sendiri. Kamu fokus aja sama pusat. Cukup pantau aja," sahut Atmadja.

"Aku nggak tahu arah pikiran Papi. Aku lepas tangan tentang ini. Papi urus sendiri aja!" ujar Gata kemudian berdiri. "Ayo, Lon!" ia ajak sekretarisnya.

"Mau kemana?" tanya Atmadja.

"Ngurus sesuatu aja yang lebih penting!"

"Nemuin Binar?"

"Ck!" lirik Gata kemudian meninggalkan ruangan.

"Mau ke Pabrik dulu, Pak?" tanya Loni.

"Gue nggak habis pikir sama bokap gue, Lon. Bisa-bisanya makin hari makin red flag banget!"

"Atau mau ke rumah Pak Bumi?"

"Udah kehidupan kayak gitu, sekarang pekerjaan juga diginiin. Sumpah, kayaknya dia harus di-ruqiah aja, deh!"

"Laporan dari AE juga sudah dikirim barusan. Progres pengembangan produk terbaru sudah terlihat, saya sudah baca dan ada beberapa yang saya tandai mohon nanti ditinjau ulang."

Gata menghentikan langkah sebelum keluar dari gedung kantornya. "Gue curhat loh, Lon!"

"Masih jam kerja, Pak." Pria berwajah tegas dan tubuh tegap sedikit berotot itu menunjukkan jam yang melingkar di tangannya. "124 menit lagi, kita bisa bicara hal pribadi, Pak."

Gata diam menatap sinis sekretarisnya. "Sabar, Ta. Sabar ... lo emang kebagian yang begini. Jangan protes."

...🪻🪻🪻...

Last Project [END- TERBIT]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora