24

1.6K 213 28
                                    

Katanya, semakin keras melawan takdir, semakin keras juga takdir melawan keinginan kita dan memaksa kita mengikutinya.

Menjadi anak dari seorang penjahat besar yang merugikan banyak orang bukanlah sesuatu yang mudah Binar terima, tetapi menolak pun tidak mampu dilakukan.

Ikhlas, berteman dengan takdir dan berjalan beriringan adalah sesuatu yang akan Binar terus yakini. Ia cukup sadar diri jika dia hanya seorang hamba yang tidak mungkin melawan Tuhan.

Lagi lagi, ia harus menerima semua meski hati tercabik-cabik. Itu hanya bagian dari masa lalu yang tidak bisa diubah. Ia tidak bisa meminta dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, tapi ia bisa membuat dirinya akan jadi manusia yang seperti apa.

"Mas Gata udah tahu semuanya, Bin. Bukan aku yang ngasih tahu, tapi Bu Gista. Beliau sudah tahu sejak awal ternyata."

Binar menatap wanita yang sedang mengupas buah di samping tempat tidurnya. "Aku nggak masalah juga kalau Mbak yang bilang ke Mas Gata."

"Kamu sengaja nggak bilang ke Mas Gata?"

"Ya."

Maisa menghentikan kegiatannya dan memicing pada Binar. "Kok kamu tega ngelakuin itu, Bin?"

"Tega yang gimana maksud, Mbak?"

"Binar! Kamu tahu gimana perasaanku ke Mas Gata dan gimana persaaan Mas Gata ke aku."

Binar menggeleng. "Aku tuh nggak punya kemampuan membaca hati dan pikiran orang, Mbak. Mana kutahu."

"Aku udah bilang kalau aku cinta sama Mas Gata, begitu pun sebaliknya. Makanya—"

"Hebat banget Mbak Mai bisa tahu isi hati orang. Kalau gitu, bisa juga baca isi hatiku juga, dong? Atau ... itu cuma sebuah spekulasi dari sudut pandang Mbak Mai?"

Maisa meletakkan piring buahnya di nakas. "Kamu lagi denial, Bin? Karena kamu udah jadi istrinya, jadi kamu merasa memilikinya?"

"Tentu."

"Tapi perasaannya padaku."

"Apa sih enaknya punya rasa pada sesuatu yang haram? Ada sapi kok milih babi." Binar menyeringai tipis.

"Apa enaknya kalau raga bersama, tapi hatinya ke orang lain? Kamu akan tersiksa dengan hubungan seperti itu, 'kan?"

"Kalau mau dibuat tersiksa bisa, kok. Tapi aku memilih enggak. Gimana, dong?" tanya Binar menyebik manja. "Aku nggak mau ambil pusing dengan sesuatu yang ada di luar kendaliku, Mbak. Aku nggak bisa mengendalihkan hati dan pikiran Mas Gata. Aku cuma bisa mengendalikan hati dan perasaanku. Nanti kalau aku nggak nyaman, tinggal ngadu ke Allah."

"Kamu bikin Mas Gata tersiksa, Bin. Dia nggak bahagia dalam dekapanmu, tapi dia juga tidak mungkin mendekapku dalam hubungan seperti ini," cetus Maisa dengan mata menyalak.

"Sstt." Binar mengacungkan jari telunjuknya di depan Maisa. "Mbak nggak tahu apa-apa tentang itu. Biar Binar aja yang tahu, ya. Nanti kalau Mbak Mai tahu, bisa terluka."

"Maksud kamu?"

"Mbak 'kan suka berspekulasi. Coba deh, pikirkan dari sudut pandang, Mbak." Binar tersenyum lebar. "Kalau butuh waktu berpikir, bisa cari suasana tenang. Itu, pintu keluarnya di situ, Mbak." Ia tunjuk satu-satunya pintu di ruangan itu.

Paras Maisa berubah tegang. Garis rahangnya pun terlihat jelas seakan mempertegas bagaimana gigi-giginya mengerat. Kilatan mata itu tidak berhenti menatap Binar yang terus mengulas senyum tipis.

"Kalau Mbak Mai mau pulang, bisa pulang aja. Nggak perlu khawatir aku ngomong sesuatu yang jelek ke Mas Gata. Toh, udah semalaman Mbak Mai nemenin aku di sini."

Last Project [END- TERBIT]Where stories live. Discover now