Dieciocho (END)

1.4K 138 8
                                    

Enam tahun setelahnya.

"Non, ada kiriman bunga lagi."

Pakde Damar memasuki kamar Ashel yang terbuka, kala perempuan itu tengah membaca novel telenovelanya dengan tenang di sofa sudut ruangan. Bunga krisan ke-entah berapa-datang dalam genggaman tangan tua Pakde Damar. Ashel tersenyum sambil bangkit dari duduknya, mendatangi pria lansia itu dan mengambil alih bucket bunga itu.

"Dari siapa?"

"Gak ada namanya seperti biasa."

Ashel menghela napas. Sudah berkali-kali juga dirinya menanyakan siapa gerangan yang mengirimkan bunga itu lebih banyak dari sebelumnya. Tapi selalu nihil, tidak ada yang mau mengaku. Jika diibaratkan dengan ujung kematian, dirinya belum bisa mati dengan tenang karena penasaran akan hal ini.

"Terimakasih pakde, biar aku yang bereskan nanti."

"Baik Non."

Pakde Damar sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Dirinya belum beranjak dari aktivitas berdiam dirinya di depan bunga biru itu. Matanya menatap tiap inch mahkota bunga yang mengeluarkan harus khas bebungaan. Seketika matanya mengernyit bingung. Bukan bunga krisan biru seperti biasa, tapi bunga cornflower yang ada dalam genggamannya. Segar nya bunga biru itu, tapi perasaannya entah tidak sesegar kenyataannya.

Jemari lentiknya hendak meletakkan buket itu diatas meja. Tapi tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang membuatnya mengurungkan menaruh buket itu sejenak. "Eh... apa ini?"

Tangannya pun memutar ke kanan ke kiri mata nya mengamati dengan detail. Kali ini matanya melebar, kala melihat secarik kertas dan sebuah amplop berwarna cokelat menggantung disana. Ia meraih kertas pesan itu dengan sebelah tangannya dan membacanya. Alisnya bertaut dan terkekeh kecil saat membacanya.

Siapa yang mengirim bunga dengan undangan seperti ini? Aneh sekali orang ini atau kah bunga ini salah kirim? Ia kembali melihat sebuah amplop dengan nama belakang nya tertera disana, membukanya dengan hati-hati dan entah mengapa jantungnya berdegub kencang. Setelah terbuka, jemari lentiknya menarik secarik kertas tebal dengan warna abu-abu dan tulisan timbul berwarna emas. Ia membaca kalimat itu dengan alis bertaut.

Tanpa menggubrisnya, Ashel merapikan bunga-bunga itu. Memotong ujung pengkalnya dan mengganti bunga krisan biru yang sudah layu di vas bunga kamarnya. Bibirnya tersenyum puas setelah kegiatannya selesai dan akhirnya ia beranjak untuk menikmati makan siang karena perutnya sudah meronta minta diisi sejak tadi.

"Selamat siang Ashel."

"Selamat siang ayah."

Sapaan ayahnya membuat dirinya tersenyum belakangan ini. Juga ketidakhadiran wanita itu sejak semuanya terungkap oleh Gian dan ayahnya. Dirinya bisa bernapas lega, bahwa kini ayahnya lebih memilih untuk mengurus dirinya dibanding bermain dengan wanita itu lagi. Wanita yang hampir membuat dirinya kehilangan harapan, walau memang sudah tidak ada harapan sejak kepergian sosok itu.

Ashel hanya masih berharap, laki-laki itu kembali dengan menebus kesalahpahaman yang terjadi. Bahkan sejak semua terungkap, Ashel tidak terima mengingat perlakuan ayahnya yang membentak sosok itu saat sudah menjadi pahlawan kesiangan bagi dirinya. Bagaimanapun juga Delka sudah berjasa menolongnya dari cekalan pria-pria mesum kala itu.

"Apa jadwal kegiatan kamu hari ini?"
tanya ayahnya disela makan siang.

"Hari ini aku ada check up ke dokter mata. Aku mau pergi sendiri. Terus malam nanti aku mau datang ke pameran. Boleh kan?"

Ashel seketika mengingat amplop coklat itu. Paling tidak ia bisa bersenang-senang menghalau kegalauan hatinya. Juga Ashel tidak suka jika ada pengawal pribadi mengekorinya sejak bisa melihat. Dirinya sudah tidak punya kelemahan lagi kecuali kehilangan harapan dan cinta.

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Where stories live. Discover now