Quince

880 108 4
                                    

Seminggu sudah berlalu. Tapi hasil yang Delka dapat, nihil. Sudah bermalam-malam ia menunggui seseorang yang ia curigai. Di tempat yang sama. Namun tidak mendapatkan apapun yang ia maksud. Bahkan ditengah keputusasaannya, Delka hanya bisa berbaring menatap langit-langit kamar sore ini. Otaknya sudah terkuras untuk membuktikan fakta yang bahkan tidak sepenuhnya bisa ia pegang. Ia tidak memiliki bukti apapun untuk menjelaskan kecurigaannya.

Apakah selama ini dia salah?

Dari tatapan wanita itu saat memberi nya pesan agar menjaga Ashel. Ia tau, bahwa wanita itu juga sayang dengan sosok yang ia cintai. Juga tatapan manis pada Ashel yang diberikan saat pertama kali ia ikut  dalam kebersamaan pagi keluarga Wijaya. Namun seperti ada hal yang menjanggal yang tidak bisa Delka utarakan. Sesuatu usaha yang tidak bisa diterima dalam sekejap.

Delka menghela napas. Ia kembali berpikir bagaimana wajah-wajah menjijikan itu bisa dengan berani menyentuh seseorang yang rapuh seperti Ashelnya. Juga, mereka terlihat familiar yang bisa dipastikan ada unsur kesengajaan disana.

Tapi siapa dibalik semua itu?

Ditengah pikirannya, ponsel di atas nakas berbunyi. Sengaja Delka suarakan agar bisa berkabar dengan Zaizan yang bekerja sama dengannya. Bedanya, Zaizan memata-matai kecurigaan Delka dari dalam. Walaupun pada awalnya Zaizan sangat tidak percaya dan meminta Delka untuk berhenti. Tapi tekad Delka yang paham dengan situasi membuat Zaizan akhirnya terjun dalam persoalan ini.

Hingga kode yang ia tunggu akhirnya datang. Delka langsung bangkit dari tidurnya dan menyambar jaket birunya serta kunci motor milik Zaizan yang sengaja ia pegang sementara jika terjadi sesuatu mendesak. Seperti saat ini contohnya. Tapi sayang hal itu harus tertunda lantaran gadis di depan pintu kamarnya berdiri, sambil tersenyum padanya. Delka yang sedang terburu-buru membalas senyuman gadis itu tipis. Tidak sabar untuk keluar namun akses satu-satunya ditutup oleh tubuh gadis itu.

"Marsha kenapa?"

"Gak apa-apa kak. Eum kak..." Marsha menatap Delka dengan senyum manis yang tidak luntur diwajahnya. Tapi senyum itu berubah menjadi canggung dengan gerakan halus Marsha yang menggaruk pipinya. "Boleh aku masuk sebentar? A-aku takut sendirian di kamar."

"Emang bu Indah kemana?"

Delka menatap gadis itu yang menunjukkan raut ketakutan. Tapi tidak biasanya Marsha ketakutan seperti ini. Walau ia tau sejak tadi siang memang sedang mati listrik dan hujan lebat. Namun wajah manis memohon padanya sedikit membuatnya tidak tega. Tapi sekali lagi, Delka harus segera pergi.

"I-ibu pergi, jadi aku sendirian di rumah."

"Tapi kakak ada urusan jadi harus pergi sekarang."

"Please kak. Marsha takut."

Delka menghela napas. Baru ia ingin membuka mulut untuk kembali menolak gadis itu walau dia tak tega. Serangan yang tak terduga malah datang dari sang gadis. Delka terhuyung ke belakang saat tubuh itu menubruknya dan menciumnya tiba-tiba. Matanya melebar saat merasakan bibir gadis itu melumat kecil bibirnya. Delka langsung tersadar lalu mendorong pelan bahu Marsha dan menatap gadis itu marah.

"Marsha!"

Tapi yang membuat Delka kembali terkejut adalah Marsha menangis di hadapannya. "Kenapa kak?! Kenapa kakak gak bisa suka sama aku? Aku udah dua tahun suka sama kakak, tapi kenapa orang yang cuma ketemu sama kakak beberapa hari bisa buat kakak jatuh cinta?"

Namun hal tak terduga lainnya adalah Marsha menutup pintu kamarnya paksa dan menguncinya dari dalam. Melempar kunci itu entah kemana. Dan tindakan Marsha berikutnya, langsung membuat Delka memalingkan wajah dengan amarah. Ia tidak menyangka gadis yang ia kira polos sekarang sudah melepas bajunya. Menyisakan bra yang membalut tubuh ramping gadis itu.

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Where stories live. Discover now