Diez

953 111 7
                                    

Segala keraguan yang muncul dihati  Ashel membuatnya tidak bisa terlelap dalam tidur. Setelah Gian pamit, Ashel memutuskan mencoba untuk tertidur dan meninggalkan segala pikiran berlebihnya pada sosok Radelkatama, sang pengawal pribadi. Tapi sampai hangat terpaan sinar matahari menyapa kulit putihnya melalui jendela. Ashel masih terjaga.

Ucapan selamat pagi pelayan yang menyiapkan air untuknya mandi juga tidak digubrisnya. Ia bahkan sudah duduk termenung di atas kasur dengan tatapan tampak sendu disana. Ashel seakan merindukan satu sosok yang sudah membuatnya uring-uringan setiap harinya. Tapi pagi itu orang itu belum tiba.

Setelah membersihkan diri Ashel turun sarapan seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang yang dia nantikan kehadirannya. Gian bahkan menjawab tidak tau saat ditanya keberadaan Delkatama. Kata-kata penenang dari pemimpin pengawal itu pun tidak Ashel gubris. Ia hanya bisa tenang jika Delka sudah ada datang dan menemaninya seperti biasanya.

Tapi lagi-lagi saat dirinya sudah duduk dengan menghadap buku novel di perpustakaan. Delka tetap tidak hadir. Ashel semakin cemas hanya bisa duduk termenung dengan segala kecemasannya.

Apakah ia melakukan hal yang buruk pada Delka? Apakah ia mengatakan hal yang membuat Delka sakit hati dan tidak ingin bertemu dengannya lagi?

Semua masuk ke dalam pikiran Ashel yang semakin kusut. Hingga ia memutuskan untuk duduk di taman tanpa melakukan apa-apa dan hanya ditemani terpaan angin. Berharap sosok itu melindunginya dari udara siang yang semakin terik dan hangat tapi terasa dingin.

•••

"Hari ini lu gak masuk?"

Zaizan baru saja tiba di kamar seberangnya. Setelah Delka menelponnya tiba-tiba dan menyuruhnya mampir sebentar di kamarnya. Ia melihat Delka yang meringkuk di atas kasur dengan kompres tempel di dahinya. Wajah lelah dan pucat itu membuat lengkungan senyum miris di wajah Zaizan. Delka, temannya itu sakit. Entah karena apa.

"Iya, gue gak enak badan tiba-tiba."

Zaizan terkekeh melihat tubuh tinggi Delka yang berotot itu sekarang terbaring dengan wajah pucat. Tak habis pikir seorang Radelkatama bisa sakit. Tapi yah dia maklum karena Delka memang masih manusia. Tapi sepertinya ia tau kenapa Delka bisa sakit.

"Gara-gara jagain Ashel seharian lu jadi ketularan sakit?"

Delka mendengus kesal. Masih saja temannya itu menggodanya walau tak dipungkiri pipinya memanas sedetik saja. Nama Ashelnya disebut dan gejolak aneh muncul lagi dihatinya.

"Nanti deh gue datengnya agak siangan. Ijinin ke Bang Gian ya?"

Zaizan mengangguk. "Oke. Lu udah makan?"

Lelaki yang kini bangkit terduduk dari baringnya itu menggeleng pelan. Masih terasa pusing dengan kepalanya yang semakin nyeri karena panas yang tak kunjung reda. Zaizan menawarkan bantuan untuk membelikan Delka sarapan, tapi lelaki jangkung itu menolak dan hanya meminum air mineral yang ia siapkan sendiri di nakas samping tempat tidurnya. Miris Zaizan melihatnya.

Namun sebuah suara kaki tiba-tiba menginterupsi mereka. Pintu kamar Delka diketuk dan Zaizan yang sejak tadi duduk di kursi kerja bangkit hendak membukakan pintu. Namun ia terpaku saat melihat siapa yang berdiri disana dengan sebuah nampan berisi semangkuk bubur panas dan segelas teh hangat.

Gadis itu tersenyum sambik mengintip ke belakang tubuh Zaizan.
Melihat empunya kamar sedang memijat pelipis pelan.

"Kak Delka. Katanya gak enak badan ya? Ini aku bawain bubur sama obat"

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang