Uno

2.4K 159 1
                                    

Delka sudah duduk sekitar satu jam di depan minimarket. Ditemani sebungkus roti dan sekaleng soda yang disantapnya pun sudah habis sejak empat puluh menit yang lalu. Menikmati minggu sore tidak seperti biasanya. Dimana orang-orang akan bergelung di bawah selimut untuk menghabiskan sisa waktu sebelum menyapa hari senin. Orang-orang akan mulai membenamkan diri dalam pikiran untuk memulai hari esok yang penuh dengan peluh. Delka juga bergumul dengan pikirannya sejak tadi, memilih mengisi perut dan terjebak di tengah hujan deras.

Ia melamun, menatapi rintik hujan yang kiranya tidak akan berhenti dalam waktu lama. Mengedarkan pandangan di sekitar jalanan yang tidak banyak orang berlalu-lalang karena hujan. Salah satu alasan dia tidak segera pulang karena dia tidak membawa payung atau tepatnya ia tidak memiliki payung. Ditengah dinginnya hujan deras yang mengguyur Jakarta yang tak berperikemanusiaan.

"Apa gue harus beli payung? Tapi uang gue ga cukup."

Ia menghela napas mengingat gaji bulan ini belum ia dapatkan. Hidup susah di tengah ibu kota memang sangat terasa tertindasnya. Memiliki sebuah kamar kost petak yang murah pun sudah sangat syukur dibanding tidur di emperan toko atau mengemis di jalanan. Tinggal dengan sanak saudara? Tidak punya. Bahkan ibunya pernah bersikeras untuk melarangnya mengadu nasib di kota ini. Kota yang ia kira bisa menjadi tumpuan hidup untuk mencari nafkah.

Tapi ditengah pikirannya yang kalut di tanggal tua, Delka lebih memutuskan untuk segera pulang dibanding berlama-lama menghirup aroma hujan. Lebih baik basah kuyup daripada seperti orang gila yang membau aroma hujan yang menjijikan. Kenapa orang bisa suka hujan? Bau lumut yang amis ditambah aroma jalanan yang penuh dengan tanah. Bau hujan hanya seperti polusi bagi hidungnya.

Delka memutuskan membelah hujan untuk segera sampai di kostnya. Kaki jenjangnya berlari ditengah derasnya hujan. Jaket birunya ia jadikan penutup kepala agar tidak semakin basah dan akan berakhir membuatnya pusing atau flu. Ia melewati gang-gang kecil yang mengindikasikan bahwa hidupnya sangat tepojok di tengah ibukota. Rumah-rumah lusuh dan juga trotoar yang rusak karena tidak terjamah pemerintah.

Kakinya melangkah ketika melewati genangan air, dan semakin ia percepat saat merasakan hujan semakin deras. Tubuhnya bahkan sudah bisa dikatakan basah kuyup ketika matanya sudah menangkap gerbang hitam kosannya. Sebentar lagi sampai dan semua bayangan aktivitas sesampainya di kamar sudah menggiurkan otaknya. Mandi, pakai baju long sleeve dan training, menggelung diri di di bawah selimut, seperti yang dikeluhkannya satu jam lalu.

Tapi saat hendak membuka gerbang, sebuah suara mendistraksinya. Ia mengedarkan pandangan buramnya di kiri kanan jalanan. Tidak ada siapapun disana, sepi karena hari semakin sore. Tapi suara itu terdengar lagi dan dia berbalik badan. Mata nya memicing, dan mendapati sesosok gadis dengan balutan sweater coklat tengah berdiri terpojok diantara empat tubuh-tubuh besar, di dalam gang sempit di hadapannya.

Kenapa bisa ada tindakan tak terpuji seperti itu disini?

Ah dia lupa. Tempat tinggalnya tak menepis kalau perbuatan keji sudah menjadi makanan sehari-hari warga sini. Seperti cap 'kampung penjahat' yang sudah melekat.

Delka ingin menolong, tapi dirinya tidak mau ikut campur. Bagaimana jika dirinya yang malah terjebak dan mendapat bogem mentah dari orang-orang? Namun tidak dengan gerak tubuhnya yang seakan terkunci pada sosok lemah itu.

"Tolong..."

Suara perempuan itu melirih, menarik empati nya sejenak. Haruskah ia menolongnya? Tubuhnya sudah agak menggigil karna perjalanannya yang menjadikan dirinya mandi hujan. Tapi melihat sosok itu yang sangat ketakutan membuat hati nurani tergerak.

Delka melangkah mendekat ke arah gang itu. Menjaga dirinya agar tidak ketahuan. Satu langkah semakin mendekat. Di tengah rintik yang mulai membanjiri bumi semakin deras, ia membelalak. Melihat dengan buram manik sosok itu yang bergerak kesana kemari terlihat gelihat. Tangan perempuan itu bahkan meraba sekitarnya dengan gemetar yang terlalu kentara. Delka menurunkan pandangannya mendapatkan sebuah tongkat penuntun jalan tergeletak di jalan sana. Matanya semakin melebar saat baru menyadari bahwa sosok perempuan itu tidak bisa melihat.

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Where stories live. Discover now