Trece

840 109 2
                                    

"Ashel."

Suara lembut mengalun disatu-satunya indera yang masih ia pertahankan untuk ditulikan. Ia masih berharap suara berat Delkatama yang menyapanya di tengah hatinya yang semakin sakit akan kehilangan. Tapi malah seseorang yang tidak ingin dia temui. Ashel menghela napas tanpa menoleh pada wanita yang sudah berjalan mendekat ke arahnya.
Ashel meringkuk di tempat tidur hanya bisa menatap kosong ke depan lalu memejam ketika kasurnya bergerak.

Wanita itu duduk di sisi ranjangnya meraba pelan rambut hitamnya. Memberikan seluruh kasih sayang yang nyatanya tidak ingin Ashel dapatkan. Hanya Delkatama yang harusnya melakukan itu untuk menenangkannya.

"Kamu gak apa-apa sayang?"

Tidak ada jawaban. Ashel sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak ada yang lebih penting dari hidupnya. Bahkan dikasihani sekalipun, Ashel sudah tidak peduli. Ia hanya akan membuat semuanya rumit. Ketika rasa terima itu perlahan menghilang saat semuanya menjadi sulit ketika Delkatamanya pergi.

"Ayahmu melakukan hal yang baik. Delkatama hanya akan melukaimu. Lagipula... sudah ada aku disini yang akan menemanimu."

Wanita itu mengelus rambutnya perlahan. Ingin memberikan tanda kasih sayang semestinya dilihat oleh netra yang bahkan tidak bisa melihat. Tapi nihil, hanya ada tatapan kosong disana. Ia tersenyum tipis penuh arti sambil mengamati lamat-lamat wajah sembab itu. Berharap Ashel segera tidur dan tidak menderita di dunia ini lagi.

"Kamu ingat? Aku calon ibumu sayang."

"Aku tidak punya ibu. Ibuku sudah pergi dan tenang disurga."

Tersinggung. Wanita itu mendengus pelan. Gerakan lembut di rambut Ashel terhenti bahkan kini tangan lentik wanita itu ditariknya.

"Tak bisakah kamu melihatku sekali saja? Aku bahkan sudah menganggapmu sebagai anak kandung sendiri."

Ucap wanita itu dalam dan penuh arti. Tapi Ashel yang sangat mengandalkan pendengaran tau nada bicara itu yang seakan dibuat lembut. Ia tau maksud dari wanita itu. Kalaupun bisa ia tidak ingin merasakan pedihnya ekspektasi yang bahkan, tidak bisa ia dapatkan dengan indera terbatas. Berharap bahwa dunianya bisa dia miliki, tapi nyatanya... tak ada satupun yang bisa ia genggam. Termasuk Delkatamanya.

"Jangan pernah menganggap aku anak kandungmu. Aku tau kau tidak suka anak cacat sepertiku. Jadi gak usah repot-repot untuk mengambil perhatianku. Cukup ambil ayah seperti yang kamu ingini."

•••

Sudah seminggu. Waktu yang sosok jangkung itu habiskan dalam kamar kosan. Tidak ada kegiatan kecuali bangun, mengecek ponsel, mandi, makan seadanya dan tidur lagi. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat semua rasa penyesalan datang.

Sudah beberapa kali ia menangis dalan diam. Bahkan dengan wajah bengkak itu tidak menghilangkan rasa khawatir Zaizan saat melihat temannya yang sudah terpuruk dalam kesedihan. Zaizan kasihan tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan Novan mutlak dan dia juga tidak bisa serta merta menarik Delka kembali masuk ke dalam rumah besar bosnya itu.

"Del, lu gak apa-apa?"

Hening ketika pintu kamar dibuka Zaizan. Ia kira Delka kembali tidur di jam-jam biasa, dimana temannya itu dipastikan sibuk. Tapi gundukan selimut tebal yang Zaizan pastikan bahwa ada makhluk besar beringkuk disana membuat Zaizan lega. Paling tidak temannya tidak bunuh diri karena terlalu menyesali tindakan kala itu.

"Gue gak berguna Zi. Gue udah bikin dia.... menderita. Gue gak bisa jaga dia, gue..."

Suara berat itu tercekat. Bisa didengar bahwa bukan parau akibat bangun tidur yang menggema di keterpurukan sosok Radelkatama. Tapi karena tangis yang tidak reda dan hanya menyisakan sesak dihati. Betapa menyesalnya seorang Radelkatama saat ini.

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Where stories live. Discover now