Siete

963 127 0
                                    

Benar saja setelah adegan hujan-hujanan kemarin akibatnya hari ini Ashel demam. Delka sekarang sedang berdiri di samping tempat tidur nona mudanya dengan wajah ditekuk dan menunduk dalam. Menerima semua teguran dan cacian dari tuan Novan, atasannya. Belum lagi Bang Gian yang sudah memberikan sanksi untuknya, membersihkan toilet mansion besar itu yang lebarnya bahkan sebesar gedung kosan tempatnya tinggal.

Ashel tidak membelanya sama sekali, yang sebenarnya Delka ingin protes kalau saja tidak punya rasa sopan santun yang tersisa. Dia masih tau diri dan butuh uang gaji besar nya ituyang semakin membuatnya lebih makmur ketimbang bekerja di kantor percetakan itu. Dibuktikan dengan tubuhnya yang mulai berisi dan uang gaji pertama dimuka yang digunakan sebagai kiriman untuk ibu dan adiknya yang semakin meningkat.

Sekarang setelah cercahan dari bos Novan dan Bang Gian, Delka diminta untuk menyuapi nona mudanya yang sedang bersandar lemah di tempat tidur. Bubur itu menjadi rasa kekesalan Delka saat suapan besar masuk ke mulut kecil nona mudanya.
Tapi tetap saja rasa kesalnya langsung berubah saat melihat wajah putih dan bibir yang sekarang pucat itu.

Kalau saja dirinya lebih tegas kemarin, hal ini tidak akan terjadi.

"Hahahahaha...."

Ashel tertawa setelah suapan terakhir nya dan obat penurun panas yang sudah diminum. Delka mengernyit kaget dengan perubahan sikap nona mudanya yang aneh hari ini. Maksudnya, apa demam bisa membuat orang menjadi kehilangan kewarasannya? Delka sepertinya harus tau hal-hal aneh seperti ini.

"Wajah kamu pasti lucu pas dimarahi ayah sama Gian tadi."

Delka mendengus kesal. Ternyata nona mudanya tidak sakit jiwa, hanya meledeknya saja. Tapi muka cemberutnya berubah cepat menjadi senyuman simpul saat melihat gerutan lucu di wajah cantik nona mudanya. Cengiran lebar di wajah putih itu membuat hatinya menghangat. Ah, perasaan apa ini?

"Terimakasih atas pujiannya nona Ashel."

Tapi tawa itu tiba-tiba berubah datar. Alis Ashel bahkan bertaut saat mendengar ujaran Delka. Bahkan kepalanya dimiringkan ke kiri dengan bibir mengerucut. Tangannnya dilipat dan membuat Delka hampir memekik gemas.

"Kamu lupa perintahku kemarin?" Oh lihat wajah sok angkuh itu sekarang.

"Huh?" Delka mengernyit bingung.

"Panggil aku Ashel. Lagipula kita seumuran kan?"

Oh ternyata perintah itu. Delka tersenyum kecil, melihat bibir plum itu yang mengerucut lucu. Lagi-lagi Delka ingin menggoda nona mudanya agar lebih merajuk lagi. Membalas tawa mengejek yang Ashel berikan untuknya tadi.

"Tapi..."

"Ini perintah."

Lagi-lagi suara imut itu membuat Delka kembali terkekeh dalam diam. Ia pun mematuhi aturan dadakan nona mudanya. Ashel terlihat tidak suka saat Delka memanggilnya nona muda. Tapi kali ini, Delka ingin menggoda nona mudanya lebih dari yang sebelumnya. Ingin melihat ruam merah pipi yang samar tapi lucu.

"Baiklah, Ashel.... atau lebih baik aku panggil... Ashelku?"

Tak disangka suara dan panggilan Delka untuknya yang terdengar manis itu membuat jantung Ashel berdetak cepat. Tak dipungkiri jika 'Ashelku' membuat wajahnya memanas merah bak kepiting rebus. Kenapa juga ia harus merasakan hal seperti ini jika berdekatan dengan Delkatama? Selama hidupnya, ia tidak pernah merasakan sesuatu yang mengebom hatinya bahkan membuat perutnya tergelitik. Sedangkan Delka makin tersenyum gemas melihatnya.

"A-ashel saja."

Ulang Ashel dengan wajah tersipu. Menggoda nona mudanya yang semakin lucu dan Delka menahan senyum dengan menghela napas pelan dengan perasaan aneh juga jantung yang semakin berdebar. Takut-takut Ashel mendengarnya.

Tuna Netra (Delshel) [End] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang