Chapter 18: Paradise You Are Belong

1.4K 51 29
                                    

Yuka’s POV

            Tetes demi tetes air terdengar jelas dari kamarku. Sebuah mainan aneh yang kudapatkan pada ulang tahun ke tujuh belasku tahun lalu membantuku mewarnai kamar berantakan ini. Pukul sepuluh malam. Aku hanya terus meletakkan kepalaku di meja belajarku dengan jendela kamar yang terbuka lebar. Tidak kubiarkan satu lampu pun dalam keadaan menyala di kamar ini.

            Bulan bulat pepat terlihat sangat jelas dari kamarku. Hanya cahaya dari bulan purnama yang menyinari kamarku. Purnama hari ini benar-benar sangat terang. Benda bulat di langit itu tidak sedetik pun membiarkan segumpalan awan menutupi wujudnya yang abadi.

            Ratusan kali tanganku memutar balikkan jam pasir berdurasi tiga puluh menit di depanku. Aku hanya memandangi setiap butiran pasir yang saling berebut untuk dapat melewati sebuah lubang kecil yang menjadi penghubung dua tabung. Setengah jam berlalu, kuputar kembali jam tersebut. Setengah jam berikutnya berlalu, kuputar kembali jam itu. itulah kegiatan semenjak tiga jam yang lalu. Tidak pernah berkutik dari kursi yang berpasangan dengan mejaku ini. seakan-akan kursi ini memaksaku untuk terus duduk di atasnya.

“Yuka,” sebuah suara terdengar dari pintu kamarku. Aku melirik mataku tanpa memutar kepalaku. Kakakku. Kembali aku memofokuskan mataku pada jam pasir di depanku.

“Ini makan malammu. Aku tahu kau nggak akan turun walaupun aku memaksamu,” Kak Aaron berjalan ke arahku dan memberikan sepotong sandwich tanpa keju kesukaanku. Sedikit aneh memang aku harus makan malam dengan sepotong sandwich.

“Makasih, kak,” balasku tidak bergerak semili meter pun.

Kudengar Kak Aaron berjalan menuju jendela kamarku. Memandang bulan purnama tanpa menutup jendelaku. “Aku tahu bebanmu untuk malam ini. Aku tahu apa yang kau rasakan. Makanya, aku membiarkanmu seperti ini. Toh, jika kupaksa juga kau tidak akan melakukannya.”

Aku sedikit mengabaikan setiap kata yang keluar dari kakakku. Aku ingin benar-benar menenangkan diriku beberapa saat sebelum semua hal Indah akan berakhir malam ini.

“Menangislah jika kau ingin menangis. Kau sedih bukanlah salahmu,” lanjut kakakku kembali memperhatikan bulan di luar sana. Aku masih terdiam memperhatikan jam pasir yang sudah setengah habis atau lima belas menit telah berlalu setelah terakhir kali aku memutar jam ini.

“Kak, kumohon keluarlah. Aku ingin sendiri,” ucapku masih bergeming di tempat dudukku. Kudengar kakakku menghela nafasnya panjang.

“Selamat malam, Yuka. Kuharap besok kau bisa bangun lebih awal dari biasanya,” kakakku berjalan ke arahku dan mengusap kepalaku. Kini langkah kakinya telah pergi meninggalkan kamar ini setelah terdengar sebuah dentuman pintu yang tertutup.

            Lagi-lagi aku sendiri. Sendiri dengan kesunyian di sekitarku membuatku merasa sangat nyaman. Gelap. Hanya bulan yang menerangi. Aku merasa nyaman dengan sekelilingku. Tapi mengapa? Mengapa hatiku terus berteriak kesakitan? Dia terus berteriak karena suatu alasan. Bisakah hatiku tenang sejenak? Setiap teriakkan yang hatiku keluarkan membuat kepalaku semakin sakit dan membuat mataku semakin berat menahan sebuah ‘tsunami’ yang kurasa akan terjun bebas menuju wajahku.

“Sudah berapa lama kau menjadi manekin yang sedang menangis seperti itu?” tanya sebuah suara dari sebelah kiriku. Kupalingkan kepalaku dan kulihat Harry tengah duduk di jendela kamarku dengan celana jeans dan sebuah jaket hitam yang menutupi tubuhnya. Lagi-lagi aku merasa dadaku terasa seperti ditusuk jutaan pedang.

“Uh, aku nggak sadar aku menangis,” kupegang pipi sebelah kananku dan kurasakan cairan hangat masih terus mengalir. Air mata. Sungguh, aku benar-benar tidak sadar bahwa aku menangis.

Voice of The SkyWhere stories live. Discover now