Eps. 13 - Witness

111 33 8
                                    




Beberapa saat sebelumnya...

"Kenapa gue nggak kepikiran sama sekali buat bikin stan kayak timnya Kiev ya, Din?" ucap Ale. Cowok itu menoleh ke arah Dinka yang berjalan di sebelahnya.

Dinka dan Ale baru saja selesai membagikan pamflet program mereka ke kelas-kelas di bagian belakang sekolah hingga kantin. Tadinya mereka hanya stand by di lapangan yang digunakan sebagai titik kumpul tim Dinka. Namun, Ale sengaja mengajak Dinka berkeliling untuk membagikan sisa pamflet, karena cowok itu sudah tidak tahan dikerubuti oleh cewek-cewek dari kelas sepuluh di lapangan.

"Strategi kampanye pakai stan kayak punya Kipli itu cakep, sih. Tapi menurut gue kalau kita yang mobile dan nyamperin anak-anak, kayak lebih merangkul gitu. Bisa lebih intens. Kan kita yang butuh suara mereka, jadi kita yang harus nyamperin mereka satu-satu. Kenalan, kasih tahu tentang klub kita," jelas Dinka.

Cewek itu melirik Ale. Karena melihat sahabatnya itu hanya manggut-manggut, Dinka bertanya, "Udah cocok belum gue nyapres 30 tahun lagi?" lanjutnya sambil tersenyum tengil. Sikunya menyenggol pergelangan tangan Ale.

"Cocok banget! Tahun 2049 presiden kita adalah Dinka Nola Renata!" seru Ale lantang sambil merentangkan kedua tangannya. Kedua sahabat itu kemudian tertawa bersama.

"Omong-omong, gue bingung deh. Kenapa Kiev dan timnya bikin stan di belakang banget kayak gitu. Maksud gue, di situ kan sepi," ucap Dinka. Cewek itu menunjuk ke arah tenda stan kampanye Kiev yang sudah terlihat dari tempat mereka berjalan.

Ale memicingkan matanya untuk melihat stan Kiev dari kejauhan. "Iya juga. Samperin, yuk?"

"Yuk!"

Dua remaja itu kemudian berjalan mendekati stan kampanye Tim Kiev. Sesampainya di sana, keduanya heran karena tidak ada seorangpun dari Tim Kiev yang berada di sana.

"Wah, udah diberesin ya?" tanya Dinka melihat kondisi meja yang kosong di stan itu. Kemudian cewek itu memungut sehelai taplak meja setengah terlipat yang terjatuh di tanah.

"Pada ke mana mereka?" Mata Ale menyapu ke seluruh penjuru kawasan dekat stan kampanye itu. Sepi. Hanya terlihat satu atau dua orang siswa saja yang berjalan dari kejauhan.

Dinka melangkah masuk ke dalam tenda. Cewek itu membungkuk untuk membuka sebuah tas besar yang masih tertinggal di sana. "Masih banyak goodie bag-nya," gumamnya.

"Aneh banget, udah diberesin tapi ditinggal gitu aja," lanjut cewek itu lagi.

Ale ikut melongok ke dalam tas tersebut dan mengambil sebotol kopi dari dalam salah satu goodie bag.

"Minta kopinya ya, Guys," izin Ale meski Kiev dan teman-temannya tidak berada di situ.

Selanjutnya, tidak ada percakapan di antara Dinka dan Ale karena mereka berdua tengah sibuk membaca tulisan-tulisan program kampanye pada papan yang sudah disulap menjadi scrapbook oleh Tim Kiev.

Tak lama kemudian, dari arah koridor di depan stan, terlihat Rissa yang tengah berlari-lari kecil mendekat. "Dinkaaa, Aleee!" panggil cewek itu dengan napas terengah-engah.

Gara-gara mendengar suara Rissa, Dinka dan Ale segera keluar dari tenda.

Di depan tenda Rissa tengah membungkuk. Dua tangannya bertumpu pada lutut. Cewek itu sedang berusaha mengatur napasnya agar normal kembali.

"Kiev sama JS mana?" tanya Rissa kemudian.

Dinka dan Ale serempak menggeleng.

"Tadi gue ke lapangan sama JS. Terus JS bilang mau ke toilet dulu, eh nggak balik-balik. Gue kira dia balik ke stan makanya gue ke sini. Kiev juga, kok nggak ada?" cerocos cewek itu.

SPOILERWhere stories live. Discover now