19 | Hunter and prey

1.6K 246 85
                                    

Hening panjang diantara mereka, sangat hening sampai-sampai detak jam terdengar jelas. Mereka seakan sedang menghitung waktu penghakiman. Soyoung bahkan tak bisa menelan susu yang barusan Gwangtae beli dari sebuah toko serba ada di seberang motel sembari memeriksa keadaan di luar.

"KITA HARUS PULANG!"

"AKU HARUS PERGI DARI SEOUL!"

Keduanya mengucapkan kalimat itu bersamaan.

Soyoung menyugar rambutnya ke belakang, resah. "Kita harus kembali ke rumah, Kak. Aku akan mengatakan pada Papa bahwa bukan kau yang menculikku, kau sebenarnya menyelamatkanku. Dan Papa pasti akan memaafkanmu, Kak."

Gwangtae mengulum bibirnya gugup. Ia bingung harus bereaksi bagaimana. "Tapi ini tidak sesederhana itu, Sayang." Gwangtae mengulurkan tangan untuk mengusap pipi kekasih kecilnya.

Soyoung memandang sendu pada Gwangtae, memohon untuk kali ini agar pria itu mengikuti sarannya. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Kak. Ayo kita pulang," lirihnya.

Gwangtae memandang kekasihnya penuh arti. "Tidak bisa."

Jawaban pria itu membuat Soyoung mengerutkan dahi tak mengerti. "Kenapa?" Ia mulai kesal.

Ini tidak sesederhana itu, pikir pria itu. Jika ia tertangkap oleh polisi, maka itu akan berpotensi membuat kelompok mereka tertangkap juga. Sejujurnya, Gwangtae masih membutuhkan Lee Mujin demi mengetahui keberadaan Ibunya.

Tuan Kim juga tidak mungkin semudah itu melepaskan penyusup yang telah menerobos rumahnya begitu saja. Apalagi jika ia tahu, bahwa kini penipu itu telah menjadi kekasih puterinya. Jelas, pada akhirnya ia akan memisahkan mereka.

Sebaliknya. Jika kelompok Lee Mujin yang menangkap mereka lebih dulu, Soyoung tak akan bisa lolos sebelum pass code data tersebut berada di tangan mereka.

"Begini saja, kau pulang ke rumahmu dan aku akan pergi dari Seoul. Akan lebih aman seperti itu."

Soyoung melebarkan mata. "Tidak, kau akan kemana? Kau telah mengkhianati kelompokmu, kau akan dibunuh. Dan bagaimana kita? Kita akan berpisah?"

"Dan aku juga tidak bisa kembali bersamamu. Baik, anggap Tuan Kim akan memaafkanku, belum tentu dengan polisi dan itu juga akan membahayakan kelompokku."

"Wtf Moon? Kau masih memikirkan mereka? Kelompok sialanmu itu yang telah membohongimu?" Soyoung mendorong dada Gwangtae hingga pria itu mundur beberapa langkah.

"Dengarkan aku. Bagaimanapun, aku berhutang budi pada Lee Mujin. Jika ia tidak menolongku saat itu, mungkin kita tidak akan bertemu, sekarang."

Soyoung memejam matanya, ia memutar tubuh membelakangi kekasihnya. "Tidak, tidak! Kakak harus ikut bersamaku," pintanya bersikeras.

"Tidak bisa, Sayang. Tolong, hanya untuk sementara, tidak akan lama sampai semuanya mereda. Tolong mengerti aku, Soyoung." Gwangtae memohon sambil melangkah mendekat.

"Kau harus berpikir dewasa dan realistis. Aku hanya ingin kau baik-baik saja dan kembali dengan selamat. Untuk selanjutnya, kita akan pikirkan nanti. Aku akan mencari cara agar kita bisa terus bertemu. Kita harus perlahan jika kita ingin tetap bersama." Pria itu memeluk Soyoung dari belakang.

"Tolong mengerti situasinya." Ia membenamkan hidungnya di puncak kepala gadis itu.

Soyoung menggeleng. Suara mobil membuat keduanya terkesiap.

"Sebentar." Pria itu mendekat ke jendela dan melihat melalui celah tirai. Ia melebarkan matanya. "Sepertinya Lee Mujin mengetahui kita disini."

"Ayo! kau harus pulang. Aku akan mengantarmu ke alun-alun untuk dijemput. Telpon Ryu Junkoo agar menjemputmu." Gwangtae memakai kaos dan jaketnya.

Lies, Secrets and Untouchable Stepbrother Where stories live. Discover now