Video Call

19 0 2
                                    


Kasihan Eza. Dia sudah lama tidak kuceritakan dalam lembar-lembar kisah ini sejak pertengkaran kami di kafe saat itu. Orang lain pasti merasa aku keterlaluan, bahkan menganggapku tidak punya perasaan pada Eza. Aku terlalu sinis, atau aku egois. Ya, apa pun lah, toh aku hidup bukan untuk mereka. Aku tidak bertanggung jawab atas nilai yang mereka berikan padaku.

Yang terjadi adalah Eza masih mengirim pesan berkali-kali dan meneleponku—baik melalui panggilan suara maupun video. Namun, aku hanya menjawabnya dengan emotikon, bahkan ada yang memang kuabaikan. Aku masih susah mengontrol mood yang naik-turun, jadi daripada marah-marah, lebih baik aku diamkan dulu.

Hari ini, selepas Mama pergi mengajar, aku menyiapkan peralatan sekolah daring untuk Sha, kemudian memintanya bersiap ganti baju. Untuk ukuran anak empat tahun lebih, Sha sudah sangat mandiri. Dia tidak perlu kudampingi untuk sekolah daring dan sangat interaktif dengan gurunya. Beda denganku yang cukup pendiam, Sha anak yang senang berpendapat dan aktif di sekolah maupun rumah. Itulah mengapa aku tak mau memberikan contoh buruk dan menekan emosiku saat ada masalah kemarin, agar Sha tidak meniru atau berpandangan bahwa hal yang kulakukan benar.

"Kakak ke kamar dulu ya, Sha. Kalo udah ada telepon, langsung angkat kayak biasanya ya," ujarku. Ponsel sudah kuletakkan di tatakannya dan Sha siap di depan meja belajar. Tentu, itu ponsel lama milik May yang sudah tidak terpakai, tapi masih bagus, jadi digunakan untuk sarana sekolah Sha.

Begitu tiba di kamar, ponselku berdering beberapa kali. Ketika kuperiksa, ada panggilan video masuk lagi dari Eza. Menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya aku mengangkatnya.

Wajahnya terlihat di layar sesaat setelahnya. Ia menatapku sejenak, sebelum tersenyum tipis. "Akhirnya kamu angkat juga. Sinyalnya udah bagus?" Suaranya terdengar dari seberang.

Aku melipat bibir. Rasanya ingin tersenyum lebar melihat senyumannya. Berapa hari sejak terakhir aku melihatnya? Aku tidak suka mengakuinya, tapi aku memang rindu. Terutama karena kesalahpahaman tolol di antara kami yang membuatku harus menjauh sementara. Dan, setelah May menjelaskan semuanya, aku jadi penasaran maksud kalimat terakhir Eza sebelum aku meninggalkannya di kafe waktu itu.

"Kamu nggak tau aku ngejar lulus cepet demi siapa?"

"Dee, kalo senyum jangan ditahan, ntar bisulan!" Suara Eza yang asli di hadapanku—bukannya bayangan ingatan—mengagetkanku tiba-tiba.

"Hah? Masa nahan senyum bisa jadi bisul?"

"Iya lho, kamu nggak tau? Saraf bibir ini kudu aktif. Senyum bisa bikin kamu sehat. Bukan cuma nggak bisulan, tapi juga sehat jantungnya, sehat hatinya."

Aku tertawa. Ngomong apa sih, anak ini? Random banget. "Maksudmu gimana sih? Kamu baru penelitian?"

Eza menggeleng. "Belum, lah. Tapi aku usahain cepet penelitian, jadi cepet selesai kuliah dan bisa kerja full time."

"And then?"

Ia tampak berpikir, lama kemudian, ia malah membelokkan percakapan. "Terus gimana, kamu sama May? Udah clear, kan?"

Aku memperbaiki posisi duduk. "Yah... gitu, lah. Emang nggak mungkin bisa berantem lama-lama juga, kalo nggak gara-gara kamu."

"Lho, kok aku?" Wajahnya tertekuk.

Aku tersenyum, kali ini tidak menahannya. Kadang-kadang Eza bisa juga menggemaskan, tapi lebih seringnya mengesalkan. "Ya iya lah, siapa suruh nanya segala macem ke May? Emangnya May itu 24 jam sama aku? Dia tuh 24 jam sama kertas dan penggaris."

"Sekarang, dia di mana?" Eza membenahi letak kacamata.

"Kenapa? Mau ngobrol?"

Dari sana, ia terkekeh. "Mau nanya, kakaknya kapan selesai skripsi."

Aku mendengkus. Sidang proposal saja belum. Aku masih harus menunggu persetujuan dosen dan jadwal sidangnya. "Mungkin bentar lagi sidang proposalnya."

Ia tersenyum timpang. Lagi-lagi membuatku bertanya-tanya, apa maksudnya. "Kabarin ya, kalo sidang."

Aku mengangguk tanpa berpikir dua kali. Kata orang, jika ada orang yang sudah berusaha dipisahkan darimu, tapi selalu kembali lagi, mungkin dia ditakdirkan untuk ada di dekatmu. Itulah misteri keberadaan Eza yang tidak bisa kuenyahkan dari hidupku sekalipun aku ingin. Aku tidak tahu, apa keputusanku untuk memberinya kesempatan lagi, dan menghanyutkan hatiku lagi saat ini, berbuah kebaikan. Namun, yang aku tahu, aku akan lebih fokus membenahi karier dan memperbaiki diriku daripada sekadar membuang rindu padanya saja.

***

2018

"Za, kamu mau lanjut kuliah di mana?"

Eza menimbang-nimbang sambil mengaduk-aduk es buah di hadapannya. "Hmm... Bandung, mungkin? Aku pengen kuliah teknik, sih."

Aku melirik pada buah-buahan di mangkoknya. Kayaknya itu lebih enak daripada es jeruk pesananku. Jadi pengin.

"Kenapa?" tanyanya balik. "Kamu sendiri, nggak pengin kuliah di luar kota?" Ia tiba-tiba menyodorkan mangkoknya, mengedikkan dagu.

Aku tertawa, menyadari kalau ia mengerti aku sedari tadi memperhatikannya. "Ya, bukan nggak pengin, tapi lebih pengin kuliah sesuai jurusan yang aku incar, daripada soal kotanya." Aku menyendok buah dan mulai memasukkannya ke mulut. Udara panas siang ini rasanya langsung kabur dari sekelilingku.

Usai menelan beberapa suap, aku beranjak. "Bentar, aku mintain sendok baru."

Eza menggeleng. "Buat kamu aja." Ia menarik gelas es jerukku, lalu menyedotnya. "Harusnya dari tadi kita tukeran minuman."

"Yah, kan aku nggak enak. Mesen sendiri, malah minta punya orang," sahutku sambil memainkan sendok.

Belum ada jawaban dari Eza, tiba-tiba seseorang datang dari belakang dan menepuk pundakku. Aku menoleh, tersenyum saat melihat Gina. Ia menyeret kursi dan duduk dengan enaknya di sisiku.

"Kalo nge-date jangan di sini, ntar banyak yang sirik," bisik Gina di telingaku, tapi suaranya jelas kedengaran oleh Eza juga.

"Siapa, Gin?" Eza menjungkitkan alis.

"Itu, geng rumpi kelas sepuluh. Barisan patah hati abis kamu putusin." Gina terbahak, sementara aku menyikutnya agar berhenti menggoda.

"Hush, jangan gitu, ah," sahutku.

"Nadira sih, mungkin cuma baper sebentar aja." Eza angkat bahu, tampak cuek.

"Emang iya? Jangan-jangan demi bales dendam, ntar dia ngincer kampus yang sama kayak kamu, terus minta balikan?" Gina menopang dagu, berspekulasi.

Aku menggetok kepalanya agar berfungsi dengan benar lagi. "Jangan suka ngarang, deh. Kayak Imro aja."

"Eh iya, Ziyah tadi mampir ke kelas, lho. Mau ketemu kamu, trus aku bilang aja kamu paling diculik sama anak IPA, mau diajak praktikum vaksinasi virus."

Eza terkekeh. "Virus apa, Gin?"

"Virus rindu di hatimu!" Gina benar-benar jadi penyegar suasana.

Dan, sesaat, aku lupa mengenai respons Eza yang ganjil tentang Nadira. Aku baru memikirkannya lagi di rumah, tapi lalu segera menghapus pikiran itu. Mungkin memang bukan Nadira yang sengaja menyebarkan rumor itu, tapi teman-temannya. Dan, mungkin ia bukan tipe yang mudah baper hanya karena putus satu kali. Pasti Eza lebih mengetahuinya, kan?

***

Hai, I'm comeback! Lama banget ngga update. Btw ini part terakhir untuk sudut pandang Dee, ya. Berikutnya kita geser ke sudut pandang Eza sebentar, hihi. Ada yang kepo sama kisahnya May nggak? Kalo pada kepo, aku rencana buatin cerita spin-off-nya hoho ((sok sok an padahal cerita mangkrak semua))

Oh ya aku nyelipin shorts di chapter ini. Boleh diklik ya, cuplikan dari cerita ini yang aku kasih backsound lagu salah satu penyanyi kesukaan Eza, hahaha. Happy reading and watching!

Guilty (Un)PleasureOnde as histórias ganham vida. Descobre agora